Suara.com - Konsensus global tentang perlunya penghapusan perkawinan dini, perkawinan paksa, dan perkawinan usia anak semakin mengemuka dalam beberapa tahun terakhir. Puncaknya adalah komitmen bersama untuk menghapus ketiga hal tersebut dalam target dan indikator untuk tujuan Kesetaraan Gender pada Sustainable Development Goals (SDGs) yang harus dicapai pada 2030.
Indonesia adalah negara dengan angka perkawinan anak tertinggi ketujuh di dunia, dimana satu dari sembilan perempuan yang berusia 20 - 24 tahun telah menikah pertama sebelum usia 18 tahun, dan terdapat 375 anak yang menikah setiap hari (UNICEF, 2016). Dalam perspektif pembangunan keluarga, perkawinan merupakan pintu gerbang dalam membangun sebuah keluarga.
"Keluarga harus memiliki ketahanan berupa ketangguhan dan keuletan yang akan terwujud jika kedua pasangan telah memiliki kesiapan fisik, mental, bahkan ekonomi," jelas Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohanna Yambise.
Perkawinan di usia anak memiliki potensi lebih besar untuk gagal.
Peringatan Hari Anak Nasional Tahun 2018, yang bertema “Stop Perkawinan Anak”, dihadiri oleh Kepala BKKBN, Sigit Priohutomo, di panggung Putro Pendowo, Area Teater Imax Keong Mas TMII, Jakarta.
Acara dihadiri oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, perwakilan remaja (PIK Remaja sebanyak 500 orang), perwakilan orangtua dan anaknya, serta para Pejabat Tinggi Madya dan Pejabat Tinggi Pratama.
"Peringatan Hari Anak Nasional 2018 dimaknai sebagai kepedulian seluruh bangsa Indonesia terhadap pemenuhan hak dan perlindungan anak Indonesia untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, dengan mendorong keluarga Indonesia menjadi lembaga pertama dan utama dalam pengasuhan yang berkualitas memiliki pengetahuan, ketrampilan dan pemahaman yang komprehensif dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak, sehingga akan menghasilkan generasi penerus bangsa yang GENIUS (Gesit Empati beraNI Unggul Sehat)," imbuh Yohanna.
Sigit juga menjelaskan, untuk menghapuskan perkawinan anak, perkawinan dini dan perkawinan paksa perlu komitmen bersama dari pemerintah, swasta dan orangtua. Meskipun UU Perkawinan menyatakan bahwa usia terendah untuk perkawinan yang sah bagi anak perempuan adalah 16 tahun dan anak laki-laki 19 tahun, serta memungkinkan adanya dispensasi bagi anak perempuan dan anak laki-laki untuk menikah, tetapi pada UU Perlindungan Anak 2002 (direvisi pada tahun 2014) dinyatakan bahwa orangtua bertanggungjawab untuk mencegah terjadinya perkawinan usia anak.
Selain itu, Peraturan Menteri Agama No. 11 tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah juga mensyaratkan adanya izin tertulis dari orang tua atau wali bagi calon mempelai yang belum mencapai usia 21 tahun. Bahkan BKKBN menetapkan usia ideal perkawinan adalah tidak kurang dari 21 tahun untuk perempuan dan tidak kurang dari 25 tahun untuk laki-laki.
Selain itu, sejak anak- anak, mereka harus memiliki usaha dan rencana, seperti : (1) harus punya rencana menempuh pendidikan setinggi-tingginya, (2) harus punya rencana untuk mendapatkan/menciptakan pekerjaan, (3) harus punya rencana untuk membangun rumah tangga dan tidak cepat nikah, (4) harus punya rencana untuk hidup bermasyarakat, (5) harus punya rencana dalam pelaksanaan kehidupan yang sehat.