Festival Pekerja Ungkap Kondisi Kerja Kekinian

Jum'at, 20 April 2018 | 01:23 WIB
Festival Pekerja Ungkap Kondisi Kerja Kekinian
Ribuan buruh dari berbagai elemen buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menggelar aksi protes di depan kantor Balai Kota Provinsi DKI Jakarta, Jumat (10/11).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sejumlah serikat pekerja dan organisasi kemasyarakatan bergabung menyelenggarakan Festival Pekerja pada Sabtu-Minggu, 21-22 April 2018 di Gedung LBH Jakarta,  Jalan Diponegoro No 74, Jakarta Pusat. Festival Pekerja mengangkat isu kekinian mengenai ketenagakerjaan dari berbagai sektor untuk mengidentifikasi identitas pekerja.

Selama ini, pekerja dipahami secara beragam. Sebagian lebih memilih untuk menyebut dirinya sebagai buruh karena bekerja di pabrik. Sebagian yang lain tak mau disebut buruh. Penyebutan pekerja atau karyawan dinilai lebih pantas bagi mereka yang bekerja di perkantoran atau lokasi selain pabrik. Kata buruh seolah mengandung makna kelas lebih rendah, tak sejajar dengan pekerja atau karyawan.

Pengidentifikasian pekerja tak lagi hanya mengacu definisi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Dalam undang-undang itu, buruh atau pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan bentuk lain. Saat mengacu pada definisi tersebut, mereka yang bekerja di pabrik maupun perkantoran atau lokasi lainnya sebenarnya lepas dari dikotomi kelas. Buruh adalah pekerja. Pekerja adalah buruh.

Di luar buruh dan pekerja yang dimaknai secara berbeda tersebut, ada pekerja yang memiliki penyebutan tersendiri. Mereka yang bekerja dengan relasi kerja lebih fleksibel, lebih nyaman menyebut dirinya freelance. Mereka tak menyebut diri sebagai buruh, tak juga menyebut sebagai karyawan. Mereka ingin disebut freelance atau pekerja lepas.

Selain itu, ada yang bekerja tetapi tak dianggap sebagai pekerja, buruh, maupun pekerja lepas. Penyebutan pembantu kerap diterima oleh Pekerja Rumah Tangga (PRT). Ketiadaan pengakuan tersebut membuat PRT tak dianggap pekerja yang memiliki hak perlindungan kerja layak. Hilangnya status pekerja bagi PRT tersebut seolah bagian dari konsekuensi anggapan kerja domestik tidak diakui sebagai sebuah pekerjaan.

Penarikan status pekerja dari mereka yang bekerja di wilayah domestik tersebut bersumber dari ketiadaan pengakuan kerja bagi ibu rumah tangga. Perempuan yang bekerja di rumah tangga, mengerjakan pekerjaan domestik, tak dianggap sebagai pekerja. Pekerjaan domestik seolah melekat begitu saja bagi perempuan, yang tak dianggap perlu diberi imbalan atau kompensasi atas hasil kerjanya. Padahal, pekerja domestik tersebutlah yang mendukung para pekerja publik. Mereka yang bekerja di wilayah publik, bisa kerja dengan tenang, karena pekerjaan domestik telah dibereskan.

Sementara, eksploitasi sumber daya alam besar-besaran telah merusak sumber pendapatan pekerja yang bergantung pada kekayaan bumi sekaligus bumi tempat berpijak semua pekerja. Tantangan bagi ekosistem pekerja tersebut justru ditambah dengan eksklusivitas identitas pekerja yang menghilangkan potensi gerakan kolektif untuk mewujudkan ekosistem kerja layak dan manusiawi. Festival Pekerja akan mengungkap pemaknaan pekerja itu berikut kesamaan kondisi dalam relasi pekerjaan yang beragam.

Festival pekerja adalah sebuah festival yang digagas oleh berbagai organisasi untuk mempertemukan para pekerja dari beragam sektor baik di perusahaan maupun di luar perusahaan seperti pekerja pabrik, pengemudi ojek online, pekerja kreatif, pekerja media, petani, nelayan, pekerja BUMN, pilot dan pramugari, pekerja perbankan, pekerja start up, pekerja film dan sinetron, pekerja NGO/ lembaga, pekerja rumah tangga, buruh rumahan, ibu rumah tangga dan sektor lainnya.

Dengan menggunakan tagline, “buruh adalah pekerja, siapa pekerja? Kita semua”, Festival Pekerja ingin menjangkau mereka yang belum mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai pekerja atau buruh. Identifikasi sebagai pekerja penting untuk kesatuan kolektif dalam gerakan pekerja. Mereka termasuk para pekerja muda dan calon pekerja yang belum memahami gerakan pekerja/ buruh. 

Festival Pekerja diselenggarakan untuk mempertemukan para pekerja dengan pekerja lainnya, menggalang solidaritas dan kekuatan. Festival akan memberikan ruang bagi para pekerja untuk berbicara persoalan mereka dan menuangkan dalam kerja dan perjuangan bersama di masa mendatang.  Selain itu Festival Pekerja bertujuan untuk mengajak para pekerja  untuk melakukan aksi bersama pada Hari Buruh (May Day) 1 Mei 2018 secara bersama dan menyatukan tuntutan bersama yang selama ini belum tersuarakan.

Festival Pekerja akan diisi dengan seminar mengenai kondisi kerja kekinian yang menyuarakan berbagai suara pekerja dari beragam sektor. Selain itu, kerusakan lingkungan yang turut berdampak pada eksploitasi pekerja akan dibahas dalam seminar yang sekaligus memperingati hari bumi pada 22 April 2018. Festival Pekerja juga diisi dengan rangkaian diskusi mengenai pekerja perempuan dan difabel, pekerja media, pekerja digital, pekerjaan impian, dan kelas kreatif kampanye media sosial serta kelas fotografi dan videografi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI