Suara.com - Salah satu rumah produksi Universitas Halu Oleo Kendari, Sulawesi Tenggara bekerjasama dengan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) dan Puskat Picture, mempersembahkan sebuah film karya anak bangsa berjudul Mengejar Embun ke Eropa yang akan rilis pada Jumat, 15 Desember 2016.
Film karya sutradara Haryo Sentanu Murti yang skenarionya ditulis oleh Haryo Sentanu Murti dan N Riantiarno serta di produseri oleh Pudentia MPSS dan Jabatin Bangun, dan juga Prof. DR. Ir. Usman Rianse sebagai Executive Produser, MS ini memang tidak menceritakan mengenai kepahlawanan seseorang melawan penjajah.
Sebagai gantinya, film ini menonjol kan perjuangan seseorang dalam usahanya memperbaiki etos kerja para dosen dan memberantas manipulasi nilai yang terjadi dalam sebuah kampus di Universitas Delapan Penjuru Angin (UDPA) Kendari.
Dia adalah Prof. Dr.Ir. Puro, M.S, mantan Kepala Jurusan Sosial Ekonomi yang dicopot jabatannya karena terus menerus melawan anarkisme di dalam kampus, konflik berbau SARA, kebersihan lingkungan, dan pihak eksternal kampus yang memaksa meminta proyek.
Pada intinya, Puro berusaha memperbaiki perfoma kampus sebagai center pendidikan karena selama ini kampus dikuasai oleh mentalitas preman.
Di bintangi oleh Rizky Hanggono sebagai Puro, dan Putri Ayudya sebagai Dra. Ani serta Roberta Salzano sebagai Roberta, Irma Magara, Danin Dharma perwira, Nazarudin, La Ode Kamaluddin, Rendra Bagus Pamungkas, Yuyun Andriani, Ardih Ansah, dan Maulana Abdul Qadri, film ini mengambil lokasi di Kendari dan Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, serta beberapa kota di Italia dan Belanda.
Dan pulau Muna menjadi awal cerita dalam film ini. Anak-anak Pulau Muna yang tinggal di daerah krisis air, mengawali kehidupannya dengan mandi embun sebelum pergi ke sekolah.
Puro adalah salah satu anak laki-laki Muna yang masa kecilnya hanya bisa mandi kalau ada air embun. Demikian juga Ani anak perempuan Muna yang juga mengalami mandi embun.
Mereka berlarian di antara tanaman singkong untuk mendapatkan embun pagi. Mereka adalah anak-anak para peladang yang hidupnya sederhana.
Saat dewasa, dalam suatu acara tarian adat perayaan syukuran mereka bertemu. Cinta mereka akhirnya berpadu dalam sebuah pernikahan. Sebuah keluarga yang harmonis penuh kemesraan.
Nasib mengantarkan Puro menuju Eropa. Di Roma, Vatikan, Padua, Napoly, Pompeii, dan Leiden, selain menemukan kekayaan budaya yang indah, Puro juga bertemu Roberta, gadis Belanda yang cantik. Namun Puro tetap menjaga kesetiaan pada istrinya, Ani, yang tinggal di Kendari.
Sepulang dari Eropa, Puro bekerja di Universitas Delapan Penjuru Angin (UDPA) Kendari. Namun, usaha memperbaiki etos kerja para dosen dan memberantas manipulasi nilai berujung pada pencopotan jabatan Kepala Jurusan Sosial Ekonomi.
Walau begitu, loyalitas dan dedikasi Puro kepada UDPA dan atasan tidak pernah surut.
Tanggungjawab Puro menjadi semakin berat ketika jabatan rektor dipikulnya. Kampus ini sempat menonjol sebagai kampus tukang demo. Perlawanan terhadap premanisme di kampus akhirnya dilakukan dengan melibatkan seluruh potensi kampus serta membangun jaringan dengan pihak luar.
Pada akhirnya, perubahan demi perubahan terjadi, dan kesuksesan SDM di Kampus UDPA mengingatkan kembali pada kebiasaan mandi dengan cara mengejar embun di dedaunan pagi hari.