Suara.com - Minimnya perhatian Pemerintah untuk rehabilitasi sekolah roboh mengancam keselamatan anak-anak Indonesia. Sejak tahun 2014, telah jatuh korban sebanyak 105 anak luka-luka dan 4 anak korban jiwa. Hingga saat ini 6,6 juta anak lainnya terancam bahaya karena belajar di ruang kelas rusak dan terancam roboh.
Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada tahun 2016, 18,6 persen ruang kelas SD dan 16,62 persen ruang kelas SMP berada dalam kondisi rusak. Namun, di 10 daerah sampel studi YAPPIKA rata-rata hanya mengalokasikan 0,99 persen dari APBD 2016 untuk pembangunan dan rehabilitasi ruang kelas.
Tren alokasi dalam APBN pun menunjukkan kecenderungan menurun dari 0,41 persen dalam APBN 2014, menjadi hanya 0,37 persen dalam APBN 2015 dan 0,21 persen dalam APBN 2016. Hal ini diperparah dengan tata kelola rehabilitasi ruang kelas yang rentan tidak tepat sasaran.
Pemerintah harus mengambil langkah cepat dengan meningkatkan alokasi anggaran, memperbaiki tata kelola bantuan rehab ruang kelas rusak, membangun sistem informasi pembangunan infrastruktur pendidikan, mengembangkan sistem pengaduan tentang sekolah rusak sebagai respons cepat kasus di lapangan.
Saat jenjang pendidikan dasar semakin mudah diakses, anak-anak (siswa) justru terancam bahaya karena ruang kelas yang rusak dan roboh. Berdasarkan data dari Kemendikbud, terdapat 18,6 persen ruang kelas SD dan 16,62 persen ruang kelas SMP atau 17.61 persen ruang kelas di jenjang pendidikan dasar berada dalam kondisi rusak yang tidak dapat diselesaikan oleh sekolah itu sendiri, yakni rusak dengan tingkat keparahan sedang dan berat.
Data di 10 kabupaten/kota yang menjadi sampel dari studi YAPPIKA menunjukkan kondisi yang tidak jauh berbeda dari data agregat di tingkat nasional. Terdapat rata-rata 16,03 persen ruang kelas SD dan 13,94 persen ruang kelas SMP yang berada dalam kondisi rusak.
Mengacu pada rasio siswa/kelas yang dirilis Kemendikbud, diperkirakan terdapat 6,6 juta anak (4,9 juta siswa SD dan 1,7 juta siswa SMP) yang terganggu proses belajarnya dan berpotensi menjadi korban jika ruang kelas mereka roboh. Sepanjang tahun 2014-2016, melalui pemantauan media online yang dilakukan YAPPIKA, setidaknya terdapat 105 anak korban luka (61 siswa SD dan 44 siswa SMP) dan 4 anak korban jiwa (1 siswa SD dan 3 siswa SMP) akibat sekolah roboh.
Selain persoalan ruang kelas rusak, ada juga persoalan kurangnya ruang kelas pada jenjang SD berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM), tidak boleh melebihi 32 orang per kelas. Persoalan kurang ruang kelas tersebut ditemukan di 3 dari 10 kabupaten/kota sampel studi YAPPIKA, yakni Kabupaten Bogor, Kota Pekanbaru, dan Kota Kupang. Oleh karena itu, selain rehabilitasi, pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB) juga diperlukan. Meskipun data agregat di tingkat nasional sebenarnya menunjukkan bahwa jumlah ruang kelas, baik pada jenjang SD dan SMP, sebenarnya cukup. Namun, temuan ini menunjukkan bahwa kecukupan tersebut tidak merata di semua kabupaten/kota.
Meskipun sudah terbukti membahayakan anak-anak, alokasi anggaran Pemerintah belum menunjukkan bahwa persoalan tersebut adalah prioritas yang perlu segera diselesaikan. Dari 10 kabupaten/kota sampel studi YAPPIKA, rata-rata 30,43 persen anggaran sudah dialokasikan untuk urusan pendidikan. Namun, rata-rata hanya mengalokasikan 0,99 persen dari APBD 2016 untuk pembangunan RKB dan rehabilitasi ruang kelas SD dan SMP. Hal ini karena sebagian sebagian besar (26,2persen) tersedot untuk membiayai pegawai struktural dan fungsional. Di tingkat pusat, tren alokasi anggaran untuk Pembangunan RKB dan Rehabilitasi Ruang Kelas SD dan SMP cenderung menurun dalam 3 tahun terakhir. Dari 0,41% dalam APBN 2014, turun menjadi hanya 0,37 persen dalam APBN 2015 dan 0,21 persen dalam APBN 2016.
Penurunan ini sebagian besar dikontribusikan oleh penurunan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk urusan fisik (infrastruktur) pada jenjang pendidikan dasar. Bahkan, DAK fisik untuk jenjang pendidikan SMP sama sekali tidak dialokasikan. Padahal, inilah instrumen anggaran yang paling signifikan untuk membantu Pemerintah Daerah mempercepat penyelesaian persoalan ruang kelas rusak di daerahnya.
Dengan menggunakan harga satuan RKB, rehabilitasi sedang dan berat, serta pengadaan meja dan kursi siswa untuk ruang kelas baru dari hasil riset Article 33 (2015), diperkirakan butuh waktu rata-rata 6,3 tahun untuk merehabilitasi seluruh ruang kelas dan penyediaan RKB untuk daerah yang masih kurang ruang kelas di 10 kabupaten/kota sampel studi YAPPIKA. Belum lagi, secara alamiah, penurunan kualitas bangunan pasti akan terjadi seiring waktu berjalan. Ruang kelas yang baik, bisa menjadi rusak. Apalagi ruang kelas yang sudah rusak, bisa semakin parah atau bahkan roboh.
Minimnya anggaran untuk rehabilitasi ruang kelas rusak, semakin diperparah dengan buruknya tata kelola rehabilitasi ruang kelas Rusak.
Tren Alokasi Anggaran untuk Pembangunan RKB dan Rehabilitasi Ruang Kelas dalam APBN Pembangunan Ruang Kelas Baru SD Rehabilitasi Ruang Kelas SD Pembangunan Ruang Kelas Baru SMP Rehabilitasi Ruang Kelas SMP DAK Fisik Pendidikan SD DAK Fisik Pendidikan SMP menujukan bahwa tata kelola rehabilitasi ruang kelas belum cukup transparan, akuntabel, dan partisipatif. Mulai dari belum tersedianya data sekolah yang memiliki ruang kelas rusak beserta tingkat keparahannya, belum adanya mekanisme verifikasi yang melibatkan publik, hingga tidak adanya kriteria baku dalam penentuan prioritas sehingga penyaluran dana rehabilitasi ruang kelas rusak sulit diawasi dan rentan tidak tepat sasaran.
Pengecekan lapangan terhadap sekolah yang menerima dana rehabilitasi ruang kelas di Kabupaten Serang menunjukkan bahwa 2 dari 5 SD penerima dana rehabilitasi, kondisinya tidak lebih parah dibanding 2 SD lain yang tidak mendapatkan dana rehabilitasi. Begitu pun dengan 3 SD penerima dana rehabilitasi yang dicek di Kabupaten Bogor ternyata kondisinya juga tidak lebih parah dibanding 2 SD lain yang tidak mendapatkan dana rehabilitasi.
Pemerintah memang telah berupaya mendorong tata kelola yang baik dalam rehabilitasi sekolah rusak melalui Petunjuk Teknis (Juknis) dan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) DAK Pendidikan yang diterbitkan setiap tahunnya. Mulai dari menetapkan kriteria; memandatkan dinas pendidikan kabupaten/kota untuk melakukan pemetaan, pendataan, dan verifikasi dengan melibatkan unsur teknis terkait; memandatkan adanya pemantauan dan evaluasi secara sampling; menetapkan standar pelaporan; hingga menyediakan mekanisme penilaian kinerja yang akan menjadi salah satu pertimbangan dalam pengalokasian DAK Pendidikan di tahun berikutnya. Namun, jumlah kasus korupsi dan nilai korupsi terbesar di bidang pendidikan justru terjadi dalam pengelolaan DAK (ICW, 2013).
Salah satu kasus teranyar adalah korupsi pembangunan dua ruang kelas SMPN 11 Kota Pasuruan, Jawa Timur yang melibatkan Kepala Sekolah, Konsultan Pengawas Proyek, dan Pemborong. Kasus ini terungkap setelah ruang kelas yang selesai dibangun pada Desember 2014 itu, roboh pada 28 Maret 2016.
Minimnya pengawasan dari pemangku kepentingan lain seperti guru dan orang tua murid membuat penurunan standar kualitas bahan bangunan dan mark-up anggaran pembangunan dan rehabilitasiruang kelas. Situasinya tentu saja lebih parah pada tata kelola pembangunan dan rehabilitasi dari APBD murni yang berjalan tanpa Juknis dan Juklak sama sekali.