Dengan menggunakan harga satuan RKB, rehabilitasi sedang dan berat, serta pengadaan meja dan kursi siswa untuk ruang kelas baru dari hasil riset Article 33 (2015), diperkirakan butuh waktu rata-rata 6,3 tahun untuk merehabilitasi seluruh ruang kelas dan penyediaan RKB untuk daerah yang masih kurang ruang kelas di 10 kabupaten/kota sampel studi YAPPIKA. Belum lagi, secara alamiah, penurunan kualitas bangunan pasti akan terjadi seiring waktu berjalan. Ruang kelas yang baik, bisa menjadi rusak. Apalagi ruang kelas yang sudah rusak, bisa semakin parah atau bahkan roboh.
Minimnya anggaran untuk rehabilitasi ruang kelas rusak, semakin diperparah dengan buruknya tata kelola rehabilitasi ruang kelas Rusak.
Tren Alokasi Anggaran untuk Pembangunan RKB dan Rehabilitasi Ruang Kelas dalam APBN Pembangunan Ruang Kelas Baru SD Rehabilitasi Ruang Kelas SD Pembangunan Ruang Kelas Baru SMP Rehabilitasi Ruang Kelas SMP DAK Fisik Pendidikan SD DAK Fisik Pendidikan SMP menujukan bahwa tata kelola rehabilitasi ruang kelas belum cukup transparan, akuntabel, dan partisipatif. Mulai dari belum tersedianya data sekolah yang memiliki ruang kelas rusak beserta tingkat keparahannya, belum adanya mekanisme verifikasi yang melibatkan publik, hingga tidak adanya kriteria baku dalam penentuan prioritas sehingga penyaluran dana rehabilitasi ruang kelas rusak sulit diawasi dan rentan tidak tepat sasaran.
Pengecekan lapangan terhadap sekolah yang menerima dana rehabilitasi ruang kelas di Kabupaten Serang menunjukkan bahwa 2 dari 5 SD penerima dana rehabilitasi, kondisinya tidak lebih parah dibanding 2 SD lain yang tidak mendapatkan dana rehabilitasi. Begitu pun dengan 3 SD penerima dana rehabilitasi yang dicek di Kabupaten Bogor ternyata kondisinya juga tidak lebih parah dibanding 2 SD lain yang tidak mendapatkan dana rehabilitasi.
Pemerintah memang telah berupaya mendorong tata kelola yang baik dalam rehabilitasi sekolah rusak melalui Petunjuk Teknis (Juknis) dan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) DAK Pendidikan yang diterbitkan setiap tahunnya. Mulai dari menetapkan kriteria; memandatkan dinas pendidikan kabupaten/kota untuk melakukan pemetaan, pendataan, dan verifikasi dengan melibatkan unsur teknis terkait; memandatkan adanya pemantauan dan evaluasi secara sampling; menetapkan standar pelaporan; hingga menyediakan mekanisme penilaian kinerja yang akan menjadi salah satu pertimbangan dalam pengalokasian DAK Pendidikan di tahun berikutnya. Namun, jumlah kasus korupsi dan nilai korupsi terbesar di bidang pendidikan justru terjadi dalam pengelolaan DAK (ICW, 2013).
Salah satu kasus teranyar adalah korupsi pembangunan dua ruang kelas SMPN 11 Kota Pasuruan, Jawa Timur yang melibatkan Kepala Sekolah, Konsultan Pengawas Proyek, dan Pemborong. Kasus ini terungkap setelah ruang kelas yang selesai dibangun pada Desember 2014 itu, roboh pada 28 Maret 2016.
Minimnya pengawasan dari pemangku kepentingan lain seperti guru dan orang tua murid membuat penurunan standar kualitas bahan bangunan dan mark-up anggaran pembangunan dan rehabilitasiruang kelas. Situasinya tentu saja lebih parah pada tata kelola pembangunan dan rehabilitasi dari APBD murni yang berjalan tanpa Juknis dan Juklak sama sekali.