Indonesia Darurat Sekolah Rusak

Sabtu, 29 Oktober 2016 | 07:32 WIB
Indonesia Darurat Sekolah Rusak
Ilustrasi sejumlah siswa berbaris di halaman SD Negeri 02 menteng, Jakarta, Senin (18/7). [suara.com/Oke Atmaja]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Minimnya perhatian Pemerintah untuk rehabilitasi sekolah roboh mengancam keselamatan anak-anak Indonesia. Sejak tahun 2014, telah jatuh korban sebanyak 105 anak luka-luka dan 4 anak korban jiwa. Hingga saat ini 6,6 juta anak lainnya terancam bahaya karena belajar di ruang kelas rusak dan terancam roboh.

Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada tahun 2016, 18,6 persen ruang kelas SD dan 16,62 persen ruang kelas SMP berada dalam kondisi rusak. Namun, di 10 daerah sampel studi YAPPIKA rata-rata hanya mengalokasikan 0,99 persen dari APBD 2016 untuk pembangunan dan rehabilitasi ruang kelas.

Tren alokasi dalam APBN pun menunjukkan kecenderungan menurun dari 0,41 persen dalam APBN 2014, menjadi hanya 0,37 persen dalam APBN 2015 dan 0,21 persen dalam APBN 2016. Hal ini diperparah dengan tata kelola rehabilitasi ruang kelas yang rentan tidak tepat sasaran.

Pemerintah harus mengambil langkah cepat dengan meningkatkan alokasi anggaran, memperbaiki tata kelola bantuan rehab ruang kelas rusak, membangun sistem informasi pembangunan infrastruktur pendidikan, mengembangkan sistem pengaduan tentang sekolah rusak sebagai respons cepat kasus di lapangan.

Saat jenjang pendidikan dasar semakin mudah diakses, anak-anak (siswa) justru terancam bahaya karena ruang kelas yang rusak dan roboh. Berdasarkan data dari Kemendikbud, terdapat 18,6 persen ruang kelas SD dan 16,62 persen ruang kelas SMP atau 17.61 persen ruang kelas di jenjang pendidikan dasar berada dalam kondisi rusak yang tidak dapat diselesaikan oleh sekolah itu sendiri, yakni rusak dengan tingkat keparahan sedang dan berat.

Data di 10 kabupaten/kota yang menjadi sampel dari studi YAPPIKA menunjukkan kondisi yang tidak jauh berbeda dari data agregat di tingkat nasional. Terdapat rata-rata 16,03 persen ruang kelas SD dan 13,94 persen ruang kelas SMP yang berada dalam kondisi rusak.

Mengacu pada rasio siswa/kelas yang dirilis Kemendikbud, diperkirakan terdapat 6,6 juta anak (4,9 juta siswa SD dan 1,7 juta siswa SMP) yang terganggu proses belajarnya dan berpotensi menjadi korban jika ruang kelas mereka roboh. Sepanjang tahun 2014-2016, melalui pemantauan media online yang dilakukan YAPPIKA, setidaknya terdapat 105 anak korban luka (61 siswa SD dan 44 siswa SMP) dan 4 anak korban jiwa (1 siswa SD dan 3 siswa SMP) akibat sekolah roboh.

Selain persoalan ruang kelas rusak, ada juga persoalan kurangnya ruang kelas pada jenjang SD berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM), tidak boleh melebihi 32 orang per kelas. Persoalan kurang ruang kelas tersebut ditemukan di 3 dari 10 kabupaten/kota sampel studi YAPPIKA, yakni Kabupaten Bogor, Kota Pekanbaru, dan Kota Kupang. Oleh karena itu, selain rehabilitasi, pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB) juga diperlukan. Meskipun data agregat di tingkat nasional sebenarnya menunjukkan bahwa jumlah ruang kelas, baik pada jenjang SD dan SMP, sebenarnya cukup. Namun, temuan ini menunjukkan bahwa kecukupan tersebut tidak merata di semua kabupaten/kota.

Meskipun sudah terbukti membahayakan anak-anak, alokasi anggaran Pemerintah belum menunjukkan bahwa persoalan tersebut adalah prioritas yang perlu segera diselesaikan. Dari 10 kabupaten/kota sampel studi YAPPIKA, rata-rata 30,43 persen anggaran sudah dialokasikan untuk urusan pendidikan. Namun, rata-rata hanya mengalokasikan 0,99 persen dari APBD 2016 untuk pembangunan RKB dan rehabilitasi ruang kelas SD dan SMP. Hal ini karena sebagian sebagian besar (26,2persen) tersedot untuk membiayai pegawai struktural dan fungsional. Di tingkat pusat, tren alokasi anggaran untuk Pembangunan RKB dan Rehabilitasi Ruang Kelas SD dan SMP cenderung menurun dalam 3 tahun terakhir. Dari 0,41% dalam APBN 2014, turun menjadi hanya 0,37 persen dalam APBN 2015 dan 0,21 persen dalam APBN 2016.

Penurunan ini sebagian besar dikontribusikan oleh penurunan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk urusan fisik (infrastruktur) pada jenjang pendidikan dasar. Bahkan, DAK fisik untuk jenjang pendidikan SMP sama sekali tidak dialokasikan. Padahal, inilah instrumen anggaran yang paling signifikan untuk membantu Pemerintah Daerah mempercepat penyelesaian persoalan ruang kelas rusak di daerahnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI