Suara.com - Kelompok Wayang Kautaman akan kembali ke panggung pewayangan menyuguhkan pertunjukan agung nan adiluhung yang dikemas menarik dan modern dengan lakon 'Soyta Gandhewa', Sabtu dan Minggu, 9 dan 10 April 2016. Mereka akan pentas di Theatre Kautaman, Gedung Pewayangan Kautaman, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta.
Produser Wayang Kautaman, Ira Surono mengungkapkan sisi menarik dari pertunjukan ini terletak pada proses kreatif dan kekinian. Namun tidak meninggalkan tradisi wayang itu sendiri.
"Dari sisi plotnya, iringan musik (karawitan), busana, semua kami garap dengan detil bersama-sama, diskusikan bersama hingga akhirnya kami mendapatkan wujud pagelaran wayang ini," katanya.
Ira menjelaskan pertunjukan ini digelar dalam rangka pentas tahunan, sekaligus menyambut genap 12 tahun penghargaan yang diberikan kepada Wayang Indonesia pada 2013, sebagai Karya Agung Budaya Dunia oleh UNESCO.
"Tahun lalu, Wayang Kautaman sukses mementaskan lakon 'Yudhakala Tresna'. Untuk tahun ini kami memilih judul Sotya Gandhewa dari kisah Mahabaratha. Persiapannya cukup panjang, sekitar 4 bulan terakhir kami fokus latihan, kurang lebih sudah 30 kali latihan. Saya bangga dengan seluruh anggota tim karena mereka memiliki komitmen dan disiplin yang tinggi demi memberikan penampilan terbaik," katanya.
Sutradara Wayang Kautaman, Nanang HP mengungkapkan "Sotya Gandhewa" mengangkat kisah Durna, Arjuna, dan Ekalaya yang merupkan tokoh Maha Guru dan Ksatria-ksatria hebat dan luar biasa.
"Dari sisi cerita, Sotya artinya mata atau bisa diartikan permata sedangkan Gandhewa artinya busur. Kita akan bicara soal busur panah. Soal ksatria-ksatria yang mengandalkan busur panah. Ada Durna, Ekalaya, Arjuna.Mengenai bagaimana kisah lengkapnya, nanti nonton tanggal 9 dan 10 April," ujarnya.
Nanang mengungkapkan "Sotya Gandhewa" digarap dengan mempertimbangkan semua unsur keaktoran dan pola-pola baru yang berbeda dengan wayang tradisi, alur dan plot yang menggunakan pendekatan pada alur teater atau drama, iringan musik yang digarap berbeda dari pertunjukan wayang orang biasanya.
Penata Musik, Blacius Subono menambahkan, hampir 90 persen karya yang disusunnya kali ini adalah karya baru dan spontanitas.
"Hampir 80 persen saya susun (musiknya) secara spontan. Jadi pada saat latihan baru kami buat. Ini berbeda dari pertunjukan-pertunjukan wayang yang biasanya iringan musiknya sudah disusun dari awal. Kami berharap spontanitas dalam berkarya ini akan menumbuhkan warna yang berbeda dalam pertunjukan nanti," ujarnya.
Dari sisi busana, Penata Busana Ali Marsudi mengungkapkan untuk wayang kautaman, ini terjadi banyak perubahan atau eksplorasi busana para pemain. Terutama pada penciptaan perpaduan warna dimana satu tokoh akan mengenakan perpaduan dua kain batik.
"Hal yang jarang dilakukan kelompok wayang orang lainnya adalah eksplorasi menggunakan dua kain untuk satu tokoh. Ini beda dengan wayang orang tradisi yang hanya menggunakan satu kain. Dengan modifikasi dua kain, diharapkan akan muncul karakter baru, warna baru, rasa baru yang akan mengikuti perkembangan jaman ini," katanya.
Kekayaan Budaya Wayang
Ketua Umum Organisasi Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) Pusat, Kondang Sutrisno sangat mengapresiasi inisiatif Wayang Kautaman dalam melestarikan seni tradisi khususnya wayang orang. Didukung sederetan generasi muda pada sutradara, produser, pemain-pemain, ia berharap pertunjukan ini semakin memperkaya budaya wayang di Indonesia.
"Produsernya masih muda, sutradaranya masih muda, seniman-senimannya punya karakter yang kuat. Ini sesuai motto Pepadi untuk melestarikan dan mengenalkan wayang kepada generasi muda," katanya.
Sementara itu di tempat yang sama, Ketua Umum Senawangi, Suparmin menyambut positif upaya Wayang Kautaman dalam memperkaya, menampilkan format baru sebuah pertunjukan wayang orang, tanpa meninggalkan tradisi wayang klasik dan orisinalitas atau tuntutan ceritanya.
"Semoga karya Wayang Kautaman ini dapat memperkaya inventarisasi pewayangan di Indonesia, mudah-mudahan saja penampilannya nanti lebih sukses lagi dari yang sebelumnya," demikian Suparmin.
Sinopsis
Durna merasa dikejar usia. Yang dihadapinya sekarang adalah masa tua yang sungguh berbeda dengan yang dibayangkannya saat meninggalkan Negeri Atas Angin. Mimpinya menjadi seorang kesatria tak terkalahkan telah kandas. Kini dia adalah seorang guru di Sokalima, pembimbing sekumpulan kesatria Hastina, Pandawa dan Kurawa. Betapa sebagai seorang ayah dia sangat berharap pada Aswatama, yang justru menganggap ayahnya lebih menyayangi Arjuna dibanding anaknya sendiri. Sementara Arjuna, siapa yang bisa menampik seorang murid yang selalu mampu membuat gurunya bangga.
Cinta pula sesungguhnya yang membuat Durna menampik niat Ekalaya, kesatria dari wangsa pemburu yang ingin berguru kepadanya, lelaki yang di kemudian hari menjelma menjadi seorang pemanah hebat setara Arjuna. Kematian Ekalaya tidak lebih tidak kurang karena campur tangannya juga.
Ditambah kecurigaan Duryudana yang membuatnya makin tersudut, sejak itu Durna memutuskan untuk mengekang tangan kirinya, membatasi diri dari segala keinginan yang selama ini justru menyulitkan hidupnya sendiri.
Waktu berlalu sedemikian cepat. Hari ini murid-muridnya telah terpecah menjadi dua barisan, saling berhadapan di Kurusetra. Sungguh pun Durna tidak ingin mendua, kali ini dia merasa tugasnya sebagai guru telah usai. Maka dia memutuskan untuk melepaskan kekang di tangan kirinya, menyandang lagi busur dan panahnya. Perang esok hari, akan tunai mimpi masa mudanya yang tertunda.