Suara.com - Senin, 16 November 2015 adalah hari yang menggemparkan bagi sebagian besar karyawan Kompas TV. Pada hari itu, Muhammad Iqbal Syadzali, reporter Kompas TV, dipaksa mengundurkan diri dari Kompas TV oleh Njoman Trijono, Manager HRO Kompas TV.
Alasan pemecatan, sungguh tidak jelas. Njoman, bersama dengan Yossa Prawira, Legal HR Kompas TV, menuduh Iqbal menggelapkan uang perusahaan sebesar Rp50 ribu. Karena itulah mereka memaksa Iqbal untuk mengundurkan diri dari Kompas TV. Padahal, Iqbal sama sekali tidak melakukan melakukan perbuatan tersebut.
Tuduhan yang tidak beralasan ini bermula saat Iqbal, Rian Suryalibrata (produser), Afdinal (cameraman) dan Sudrajat (sopir), melakukan peliputan di Bandung, pada 8 hingga 21 Juni 2015. Empat orang ini melakukan peliputan program CS File, untuk Kompas Tv, sebuah televisi lokal berjaringan, milik kelompok media Kompas Gramedia, yang beralamat di Jl. Palmerah Selatan 22-28 Jakarta 10270.
Di hari pertama peliputan, Sudrajat mengaku kehilangan STNK mobil yang ia kendarai. Setelah mencari selama beberapa waktu dan STNK mobil yang dicari tidak jua ditemukan, empat orang ini sepakat melapor kepada polisi tentang kehilangan ini.
Selang beberapa hari kemudian, diantara kesibukan melakukan kegiatan peliputan, Iqbal dan Sudrajat mendatangi kantor polisi di wilayah Cibeunying, Bandung, sementara Rian dan Afdinal tetap melakukan peliputan.
Di kantor polisi, Sudrajat meminta uang kepada Iqbal dengan alasan untuk membayar polisi. Iqbal, yang memegang uang operasional peliputan, memberikan uang sebesar Rp100 ribu kepada Sudrajat. Sudrajat pun masuk ke dalam kantor polisi, sementara Iqbal membereskan barang-barang keperluan peliputan di dalam mobil.
Selang beberapa menit kemudian, Sudrajat keluar dari kantor polisi. Sudrajat memberitahukan kepada Iqbal bahwa ia membayar polisi sebesar Rp50 ribu. Sisa uang yang Rp50 ribu tetap ia pegang.
“Saya pinjam ya, Kang Iqbal. Buat pegangan saya selama peliputan beberapa hari ini,” begitu kata Iqbal menirukan ucapan Sudrajat. Iqbal yang sedang sibuk membereskan barang-barang keperluan peliputan dan memikirkan peliputan, mengiyakan saja pernyataan Sudrajat.
Saat itu, Iqbal sempat mencatat pengeluaran uang yang ia lakukan. “Rp100 ribu untuk membayar polisi,”" kata Iqbal dalam keterangan tertulis, Minggu (13/12/2015). Demikian bunyi catatan keuangan Iqbal hari itu. Iqbal pun melaporkan catatan keuangannya ini kepada Rian, produsernya. Proses peliputan pun dilanjutkan kembali hingga selesai pada 21 Juni 2015.
Hingga kembali ke Jakarta, ke kantor Kompas TV di kawasan Palmerah, pada 21 Juni 2015, Sudrajat sama sekali tidak mengingatkan Iqbal soal uang yang ia pinjam. Iqbal pun lupa dengan uang pinjaman ini. Saat membuat laporan keuangan, ia hanya melihat catatan keuangannya yang menunjukkan bahwa ada pengeluaran uang sebesar Rp100 ribu untuk membayar polisi, guna pengurusan pelaporan kehilangan STNK mobil. Iqbal pun melaporkan adanya pengeluaran sebesar Rp100 ribu ini dalam laporan keuangannya.
Selang 5 bulan kemudian, tepatnya pada 16 November 2015, selisih uang Rp50 ribu ini nyatanya menjadi masalah. Iqbal dipaksa mengundurkan diri dengan tuduhan menggelapkan uang perusahaan. Njoman dan Yossa sama sekali tidak mau mendengar kejadian yang sebenarnya. Mereka berkeras ada penggelapan uang sebesar Rp50 ribu yang dilakukan Iqbal. Menurut Njoman, seharusnya yang dilaporkan Rp50 ribu, bukan Rp100 ribu.
Pada hari itu, Iqbal diperiksa selama 7,5 jam, mulai pukul 14.00 WIB hingga 21.30 WIB. Pemeriksaan dilakukan dengan cara yang amat kasar. Njoman seringkali berbicara kepada Iqbal dengan nada suara yang amat keras, meninggi dan cenderung membentak. Njoman bahkan beberapa kali mengancam Iqbal bahwa ia akan mempidanakan kasus ini, jika Iqbal tidak segera menandatangani surat pengunduran dirinya.
Dalam kondisi tertekan inilah, dengan amat terpaksa, Iqbal menandatangani surat pengunduran dirinya. Ia sudah sangat lelah, baik secara fisik dan juga mental, sebab, selama pemeriksaan 7,5 jam, Iqbal tidak diperbolehkan keluar ruangan pemeriksaan sama sekali. Ia tidak diperbolehkan beristirahat, makan atau minum. Bahkan, saat Iqbal dengan santun meminta izin untuk melakukan ibadah sholat ashar dan sholat magrib, Yossa, sang penyidik, juga tidak memberikan izin.
Drama pemaksaan pengunduran diri di Kompas TV, pada minggu ini, rupanya belum berakhir pada kasus Iqbal. Selang dua hari kemudian, tepatnya pada Rabu, 18 November 2015, Fadhila Ramadhona, reporter Kompas TV, juga dipaksa mengundurkan diri. Lagi-lagi Njoman dan Yossa yang menjadi aktor utama kasus pemaksaan ini.
Njoman dan Yossa menuduh Fadhila membuat laporan keuangan palsu, berkaitan dengan peliputan yang dilakukan Fadhila di wilayah Sumatera Barat, pada Juni 2015.
Ada beberapa komponen laporan keuangan, yang menurut Njoman dan Yossa, telah dipalsukan oleh Fadhila. Yang pertama adalah soal honor untuk fixer, orang yang memiliki kemampuan dan jaringan, untuk membantu kelancaran proses peliputan. Saat peliputan di Sumatera Barat, Fadhila menggunakan sopir mobil yang ia sewa sebagai fixer. Alasannya, sang sopir mengetahui betul dan memiliki jaringan untuk membantu kelancaran proses peliputan.
Dalam laporan keuangan, Fadhila mencantumkan ada honor fixer sebesar Rp500 ribu. Uang sebesar ini memang benar-benar ia berikan kepada sopir, sekaligus fixernya. Namun Yossa sang penyidik, menganggap Fadhila berbohong. Menurut Yossa, sesuai peraturan perusahaan, wartawan Kompas Tv dilarang memberikan uang kepada sopir. Bahkan untuk tips sekalipun.
“Menurut Yossa, kalau memang ingin memberi tips kepada sopir, seharusnya memakai uang pribadi saja. Tindakan Fadhilla dianggap Yossa sama dengan Robin Hood yang kerap mencuri dari yang kaya dan memberikan kepada si miskin.
Tuduhan untuk Fadhila, bukan cuma satu ini. Saat peliputan pada Juni itu, dengan alasan lokasi yang strategis untuk memudahkan proses peliputan, Fadhila menyewa rumah keluarganya. Selama 8 hari, Fadhila, ditambah seorang presenter Kompas Tv dan 2 cameraman Kompas Tv, menginap di rumah keluarga Fadhila. Saat kegiatan peliputan selesai, Fadhila memberikan uang sebesar Rp5 juta kepada keluarganya, guna penggantian biaya sewa penginapan.
Yossa menyatakan tindakan Fadhila ini salah. Menurut Yossa, sesuai peraturan perusahaan, jika ada karyawan yang menginap di rumah keluarga selama proses peliputan, karyawan hanya diperbolehkan membayar uang kepada keluarganya, sebesar 50% dari dana yang tersedia.
Fadhila tentu saja tidak mengetahui aturan ini. Aturan ini tidak pernah disosialisasikan kepada para karyawan. Sebagian sangat besar karyawan, tidak mengetahui adanya peraturan ini. Perlu diketahui, selama bertahun-tahun, perusahaan tidak pernah membagikan buku peraturan perusahaan kepada sebagian besar karyawannya.
"Aturan-aturan seperti ini, baru belakangan diketahui, saat terjadi “pelanggaran-pelanggaran” menurut versi perusahaan dan karyawan yang melakukan pelanggaran, dipaksa menerima sanksi, akibat pelanggaran peraturan yang tidak pernah disosialisasikan," kata Fadhilla dalam keterangan tertulis, Minggu (13/12/2015).
Berbeda dengan Iqbal yang diperiksa selama 7,5 jam dalam waktu satu hari, Fadhila diperiksa secara marathon. Dimulai pada 13 Oktober 2015, Fadhila harus menjalani pemeriksaan selama 3 jam, mulai pukul 16.00 WIB hingga pukul 19.00 WIB. Jadwal pemeriksaan pertama ini mundur dari waktu yang sebelumnya ditetapkan.
Sebelumnya, Yossa menetapkan jadwal pemeriksaan pada pukul 10.00 WIB, namun, tanpa alasan yang jelas, ia mengubah jadwal pemeriksaan ke pukul 16.00 WIB. Fadhila yang telah bersiap sejak pukul 10.00 WIB, dipaksa menunggu. Padahal saat itu Fadhila belum pulang ke rumah. Satu hari sebelumnya, Fadhila menemani proses editing dari hasil peliputannya, mulai sore hingga keesokan paginya.
Dalam kondisi lelah fisik dan mental inilah Fadhila dipaksa menulis surat pernyataan pelanggaran perusahaan oleh Yossa. Fadhila menulis surat dengan tulisan tangannya, dan setiap kalimat didikte oleh Yossa. Fadhila menuruti keinginan Yossa ini dengan sangat terpaksa.
10 November 2015, sekitar pukul 17.00 WIB, Fadhila kembali diperiksa oleh Yossa. Saat itu, Yossa memberitahu Fadhila bahwa Fadhila mendapat SP3 dan Fadhila dipaksa menandatangani SP3 saat itu juga. Fadhila menolak menandatangani. Ia ingin ada atasannya yang mendampingi, saat ia menandatangani SP3.
18 November 2015, pukul 16.00 WIB. Yossa kembali melakukan pemeriksaan kepada Fadhila. Saat itu, Yossa mengabarkan bahwa perusahaan telah mengubah keputusan SP3 menjadi pemecatan. Alasan Yossa kepada Fadhila, ringan saja: “Karena kamu tidak kooperatif, dengan tidak menandatangani SP3 di pertemuan sebelumnya.”Begitu kata Yossa. Fadhila tetap tidak menerima keputusan ini. Terjadi dialog alot diantara keduanya.
Pukul 17.00 WIB: Yossa membawa Fadhila kedalam ruangan Njoman. Saat itu, Njoman langsung mengancam Fadhila dengan 4 pilihan, jika Fadhila tidak segera menandatangani surat pengunduran dirinya.
“Pertama, skorsing. Skorsing dilakukan sampai masalah ini diputuskan. Selama skorsing Anda tidak dapat gaji. Kedua, di pindah tugaskan. Bisa saja kamu saya pindahkan ke Sorong, Papua, karena di sana sedang butuh reporter. Ketiga, bisa PHK. Keempat, yang paling parah, masalah ini bisa kita perpanjang ke pihak yang berwajib," kata Njoman.
Terjadi perdebatan karena Fadhila tetap menolak keputusan ini. Namun, Njoman dan Yossa tetap memaksa. Akhirnya, pada pukul 22.20 WIB, setelah diperiksa selama sekitar 4,5 jam, Fadhila menyerah. Ia menandatangani dua surat: Perjanjian Bersama dan Risalah Perundingan Bipartit.
Drama belum berakhir. selang dua hari dari pemanggilan terakhir kepada Fadhila, tepatnya pada Jumat, 20 November 2015, Rian Suryalibrata, produser Kompas TV, diperiksa oleh Njoman dan Yossa. Dua penyidik ini menanyakan “penyelewengan” uang Rp50 ribu yang dilakukan oleh Iqbal.
Rian menegaskan, Iqbal sama sekali tidak melakukan penyelewengan. Laporan keuangan yang dibuat oleh Iqbal adalah benar, begitu pula soal pengeluaran uang sebesar Rp100 ribu untuk membayar polisi. “Semua uang yang keluar dari Iqbal adalah seizin saya, karena saya adalah pimpinan rombongan,” begitu kata Rian. Pertemuan pun berakhir. Njoman dan Yossa mencatat dengan cermat ucapan Rian ini.
Selang beberapa hari kemudian, pada Senin, 7 Desember 2015, Rian kembali dipanggil oleh Njoman. Njoman mengatakan, sebagai pimpinan rombongan, Rian juga harus bertanggungjawab atas “kesalahan” yang dilakukan oleh Iqbal. Dan karena Iqbal telah mendapat sanksi, Rian juga harus mendapat sanksi serupa. Begitulah, dalam tempo yang amat singkat dan dengan alasan yang amat sederhana, Rian dipecat. “Mulai 7 Desember 2015, perusahaan memutuskan hubungan kerja dengan Rian,” begitu kata Njoman, sambil tersenyum.
Tindakan ini jelas melanggar segala peraturan yang ada di republik ini. Karena itulah, tiga karyawan ini menuntut haknya untuk dipekerjakan kembali serta pemulihan nama baik di lingkungan perusahaan. Sebab, saat ini telah beredar kabar di lingkungan Kompas TV bahwa tiga orang ini adalah para koruptor, para pelahap uang kantor sebesar Rp50 ribu. Sebuah kabar yang tentunya sama sekali tidak benar. Untuk memulihkan nama baik yang telah tercemar, tiga karyawan ini siap menempuh jalur hukum dan siap menghadapi segala risiko apapun nantinya.