Suara.com - Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan merupakan bagian dari Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi – JK untuk memicu masuknya investasi besar di Indonesia. Sejalan dengan berbagai paket kebijakan yang lain, PP 78 hanya bertujuan untuk semakin mensejahterakan pengusaha, tanpa sedikitpun berpihak pada kaum buruh.
Sektor padat karya yang menyerap jutaan tenaga kerja adalah salah satu sektor penting dalam menopang perekonomian Indonesia, di sektor inilah sebagian besar perempuan mengambil bagian menjadi penggerak ekonomi tanpa upah dan kerja layak. "Oleh karena itu, menjadi kepentingan bagi kami, Kaum Ibu dan Perempuan Indonesia untuk secara tegas menolak pemberlakukan PP 78 dan menuntut pemerintah untuk segera menCABUTnya," kata Dian Novita, perwakilan Koalisi Perempuan dalam keterangan resmi, Jumat (20/11/2015).
Lebih jauh kaum Ibu dan Perempuan Indonesia menolak PP 78 dengan alasan : Pertama, PP 78 akan menghambat buruh perempuan untuk mendapatkan upah sesuai standar Kebutuhan Hidup Layak. Formula kenaikan Upah Minimum dalam PP 78 (Pasal 44 ayat 2) akan meniadakan variabel KHL. Formula upah hanya didasarkan pada Upah Minimum tahun berjalan, Inflasi Nasional, dan PDB Nasional. Sedangkan KHL hanya akan di-review 5 tahun sekali. Sebelum ditetapkannya PP 78, kebutuhan perempuan seperti layanan kesehatan hak reproduksi, biaya pemenuhan gizi anak, biaya pengasuhan anak, masih diperjuangkan untuk masuk dalam perhitungan KHL. Maka dengan adanya PP 78, harapan ini tidak akan pernah terwujud.
Kedua, PP 78 akan memperpanjang Politik Upah Murah, semakin memiskinkan Buruh Perempuan. Upah Murah bagi buruh perempuan membuat mereka “harus mau” bekerja sebagai buruh dengan waktu kerja yang tidak tentu (kontrak, harian lepas, outsourching) dan situasi kerja yang tidak layak.
Ketiga, dengan diberlakukannya PP 78, berarti pemerintah telah merampas hak berunding yang dimiliki oleh kaum buruh. Hal ini membuat posisi tawar kaum buruh dengan pengusaha semakin lemah. Keempat, di sektor padat karya, lemahnya posisi tawar serikat akan berarti semakin sulit buruh perempuan mengakses hak-hak normative-nya terutama dalam menuntut hak terkait dengan kebutuhan perempuan. (Cuti haid, cuti melahirkan, cuti keguguran dll)
Kelima, PP 78 akan semakin memudahkan perusahaan untuk KABUR dan tidak membayar Upah Buruh-nya. Fenomena pengusaha kabur adalah fenomena yang lazim ditemui dalam industri sektor Padat Karya. Pengusaha dengan begitu mudahnya kabur, tidak membayarkan upah buruh bahkan bisa berbulan-bulan upah tidak dibayar. Penerapan PP No 78 tahun 2015 tentang pengupahan adalah “angin segar” bagi pengusaha untuk meneruskan praktek-praktek eksploitasi tenaga buruh perempuan seperti di atas. Statement Pemerintah yang menyatakan bahwa PP 78 akan menguntungkan bagi Kepastian Upah Layak, dengan tegas kami nyatakan itu adalah BOHONG! PP 78 justru semakin membuat buruh-buruh perempuan di Sektor Padat Karya semakin miskin dan tidak bermartabat.
"Ayo Perempuan Indonesia Tolak PP 78! Mogok Pabrik, Mogok Kawasan untuk menuntut pemerintah segera Cabut PP 78/2015," kata Luviana, dari AJI Jakarta, dalam kesempatan yang sama.
Koalisi Perempuan yang menolak PP 78 terdiri dari :
1. Perempuan Mahardhika
2. FBLP (Federasi Buruh Lintas Pabrik)
3. AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Jakarta
4. FBTPI (Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia)
5. Marsinah FM, Radio Komunitas Buruh Perempuan
6. GSBM (Gabungan Serikat Buruh Mandiri)
7. SPN (Serikat Pekerja Nasional)
8. JALA PRT (Jaringan Nasional Pekerja Rumah Tangga)
9. PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia)
10.Kalyanamitra
11.CWGI (Cedaw Working Group Indonesia)
12. Kapal Perempuan
13. Institute Perempuan
14. LBH Jakarta
15. Evie Permata Sari (Individu)
16. Ermelina Singereta (Individu)