Selain itu, fintech punya posisi strategis untuk mendorong program financial inclusion – yang kini menjadi salah satu ‘mantra’ dalam program pembangunan di mana-mana. Hal itu dipaparkan John Patrick Ellis, Founder/CEO CekAja dan Compare88 Group,
“Layanan teknologi finansial adalah cara inovatif dan inklusif untuk merangkul jutaan warga Indonesia masuk ke dalam sektor perbankan dan jasa keuangan. Teknologi dapat menjadi jembatan akses dan menciptakan kondisi inklusif yang penting buat laju pertumbuhan ekonomi. Seiring ekonomi kita bertumbuh, dan semakin banyak warga yang hidupnya menjadi lebih sejahtera, menyediakan akses terhadap layanan keuangan yang layak adalah fondasi perekonomian yang penting. Di era teknologi ini, peran layanan keuangan berevolusi, dan FinTech Indonesia adalah sebuah inisiatif untuk ikut berperan serta dalam dialog di area ini, secara konstruktif, positif, dan inklusif.”
Memang, Financial inclusion merupakan tantangan global. Data Bank Dunia memperkirakan di tahun 2015, masih ada sekitar 2 miliar orang yang belum memiliki rekening bank (unbanked).
Dan Indonesia masih menjadi bagian dari tantangan ini. Di tahun 2014, cuma 36% warga Indonesia berumur 15 tahun ke atas yang tercatat memiliki rekening bank dan keuangan. Angka ini tergolong salah satu yang paling rendah di kawasan Asia Timur dan Pasifik.
Persoalan serupa, Karaniya menambahkan, juga membelit dunia investasi di Indonesia. Tingkat penetrasi dan literasi investasi masih teramat rendah.
Dibandingkan negara-negara lain, nilai dana kelolaan (asset under management) reksa dana di Indonesia cuma sekitar 2% dari PDB. Padahal, di Amerika Serikat total AUM sudah mencapai 82% PDB, Malaysia 49,6%, Thailand 20,3%, dan Filipina 19,5%. Apalagi, janganlah dibandingkan dengan Singapura, yang sudah mencapai hampir 500% dari PDB.
Jumlah investor reksa dana di Indonesia pun masih sangat sedikit. Jumlahnya kini, menurut data OJK, diperkirakan baru sekitar 162 ribu orang. Artinya, ini cuma sekitar 0,07% dari total populasi; jauh tertinggal dibandingkan AS yang telah mencapai 85%, Malaysia 51%, dan bahkan Thailand yang sudah 2,2%.
Karena itu, Karaniya menekankan, teknologi finansial menawarkan solusi untuk mengatasi berbagai persoalan ini. “Bukan hanya ibarat Maserati yang mengkilat, fintech juga sejatinya adalah pedati yang teramat penting untuk financial inclusion, untuk menghantarkan sebagian masyarakat kita supaya segera masuk ke dalam sistem keuangan modern.”