Ketua DPP PDIP Said Abdullah mengkritisi adanya fatwa haram oleh seorang ustaz terkait kesenian wayang. Menurutnya, kehidupan keagamaan bangsa in tidak henti dirundung berbagai fatwa agama yang tanpa konteks. “Saya tidak habis pikir, kenapa sedemikian mudahnya agamawan meluncurkan fatwa yang berakibat segregasi sosial makin menguat,” ujar Said Abdullah dalam keterangannya kepada JawaPos.com, Selasa (15/2).
Said yang juga merupakan Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI menjelaskan, Islam diturunkan kepada manusia di muka bumi bukan untuk membuat permusuhan. Justru kehadiran agama malah menuntun manusia untuk berbuat baik secara transendensi maupun antroposentri. “Untuk kesekian kalinya, kita dikejutkan dan diusik atas pengharaman fatwa. Saya menduga sang ustad kurang membaca riwayat syiar Islam para wali, khususnya Wali Songo di tanah Jawa,” kata Said. Karena, lanjut Said, Wali Songo menyebarkan Islam di tanah Jawa dengan lembut, menghargai eksistensi kebudayaan Jawa yang memang sudah matang. Politikus asal Madura itu mengatakan Jawa pra-Islam telah menjadi kebudayaan tinggi, banyak karya agung mulai Candi Borobudur dan Prambanan yang merupakan simbol kerukunan Hindu dan Budha. Said juga menjelaskan, saat Islam masuk ke Nusantara, khususnya Jawa, pada Abad XI Masehi melalui hubungan internasional di berbagai bidang; perdagangan, politik, kasusastraan, dll, para pembawa ajaran tidak serta merta mengabaikan berbagai kebudayaan tinggi yang tumbuh di Jawa. Bahkan, ketika Kerajaan Demak berdiri, sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa, para wali menempatkan kebudayaan Jawa di tempat yang tinggi.
“Mereka tidak dengan mudah melarang petik laut, sedekah bumi, hingga berbagai kesenian seperti wayang,” kata Anggota Komisi XI DPR ini. Melalui berbagai kebudayaan itu, para wali meletakkan Islam dalam proses inkulturasi, memasukkan ketauhidan Islam melalui berbagai kebudayaan yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Bahkan dengan kreatif, Sunan Kalijaga menciptakan berbagai tembang Jawa sebagai sarana mengenalkan Islam dengan lembut, agar mudah dipahami dan diterima di tanah Jawa. “Misalnya saja kita mengenal tembang tombo ati, lir ilir, turi putih, mampir ngombe, dll. Semuanya diterima dengan baik dan menjadi ruang dakwah kultural yang menyentuh hati,” ujar Said Abdullah. Bahkan Sunan Kalijogo menggunakan wayang kulit untuk mengenalkan Islam kepada masyarakat di Tuban dan sekitarnya. Jika wayang pra Islam tidak mengenal eksistensi Sang Hyang Tunggal, Sunan Kalijogo mengenalkan eksisten Sang Hyang Tunggal dalam kisah pewayangan. Islam menjadi mudah dipahami, tanpa harus mengganggu eksistensi liyan. Seiring bergulirnya waktu, Said juga berharap para pendakwah Islam di nusantara harusnya lebih bijak dan bajik. Meskipun disayangkan masih banyak pihak yang memahami Islam tanpa konteks. Bahkan cenderung menganggap pemahamannya paling benar. “Hal ini bisa membahayakan keberagaman di tengah berkembangnya media sosial. Khawatirnya bisa menjadi sarana kian memudahkan distribusi konten puritanisme Islam. Kita menginginkan Indonesia menjadi negeri yang Baldatun Toyyibatun Warrobbun Ghafur,” tuturnya.
Atas kenyataan yang kita hadapi berkali kali ini, Said Abdullah mengharapkan berbagai pihak untuk:
- Majelis Ulama Indonesia (MUI) terus melakukan pembianaan kedalam, agar para pendakwah Islam makin bijak dan bajik dalam menyebarkan Islam, khususnya melalui media sosial. Kita harapkan MUI bisa menghindarkan kedudukan sosial ustad, kiai, dan ulama dari berbagai pelanggaran hukum, khususnya tindakan intoleransi, dan terorisme.
- Mendorong Kementerian Agama, khususnya Direktorat Jenderal Agama Islam senantiasa melakukan penyempurnaan pendidikan Keislaman di semua jenjang. Sekaligus terus mengembangkan pendidikan keislaman yang wasathiyah, menghargai eksistensi liyan dengan beragam kulturalnya.
- MUI, Kemenag dan BNPT terus melakukan deteksi dini, pembinaan dan pemulihan atas masuknya berbagai ideologi transnasional yang karena keberadaannya justru mengancam eksistensi kita sebagai negara bangsa yang terus berupaya menyempurnakan diri sebagai bangsa.
- Mengajak berbagai organisasi kemasyarakat dan keagamaan diseluruh tanah air untuk senantiasa mengedepankan dialog dalam menyikapi segala hal, menghindarkan cara cara polisional dan kekerasan.
- Seluruh komandan satuan territorial baik TNI maupun Polri senantiasa melakukan deteksi dini, pencegahan atas segala kemungkinan gangguan keamanan atas berbagai sentimen SARA yang mudah berkembang akibat meluasnya penggunaan media sosial. Dan khusus untuk jajaran kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya untuk senantiasa bisa mengedepankan mediasi antar kelompok, kalaupun harus melangkah ke ranah hukum, kita harapkan meneggakkan hukum dengan seadil adilnya, khususnya terkait kasus kasus sensitif yang menyangkut sentimen SARA di tengah tengah masyarakat.