Pekan lalu, kritik berbalut guyonan yang diunggah komedian muda Bintang Emon di akun Instagramnya berujung serangan dari Buzzer. Dalam video berdurasi 1 menit 43 detik itu, Bintang menyinggung tentang tuntutan ringan bagi dua terdakwa kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan.
Pekan ini, publik kembali diramaikan dengan peristiwa pemanggilan oleh polisi terhadap Ismail Saleh, seorang pria asal Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara. Ismail diketahui mengunggah postingan bertuliskan “Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng”.
Kutipan tersebut merupakan guyonan lawas dari Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang memang telah sering dikutip di mana-mana.
Hashtag #IndonesiaDaruratHumor menggema di Twitter
Keluarga mendiang Gus Dur pun bereaksi terkait pemanggilan polisi tersebut.
“Laaah yang dipanggil, kok, yang meng-quote. Panggil yang bikin joke dong, Pak," cuit putri bungsu Gus Dur, Inayah Wulandari atau Inayah Wahid, di akun Twitternya, Rabu, 17 Juni 2020.
Sementara putri sulung Gus Dur, Alissa Wahid meminta polisi belajar dari mantan Kapolri Tito Karnavian. Pasalnya Tito pernah mengutip lelucon yang sama saat menghadiri peringatan haul Gus Dur di Ciganjur, tahun lalu.
"Pak Polisi, ada teladan nih dari pemimpin anda semua, mantan Kapolri Jendral Polisi Tito Karnavian, sekarang Menteri Dalam Negeri. #IndonesiaDaruratHumor," kata Alissa sambil mengunggah foto Tito yang disertai lelucon Gus Dur.
Alissa yang juga merupakan Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, mengatakan pemanggilan Ismail itu merupakan bentuk intimidasi institusi negara terhadap warganya, seperti dilansir dari Tempo.
"Hal ini menambah catatan upaya menggunakan UU ITE sebagai instrumen untuk membungkam kebebasan berpikir dan berpendapat di Indonesia," kata Alissa dalam keterangan tertulisnya, Kamis (18/06).
Pakar hukum pidana, Asep Iwan Iriawan mengatakan sebenarnya pemanggilan oleh polisi boleh saja dilakukan asal dasar hukumnya jelas.
“Ketika penegak hukum memanggil harus ada alasannya, dibuat jelas sebagai apa, sebagai saksi, sebagai tersangka, harus ada alasan,” ujar Asep kepada DW Indonesia, pada Kamis (18/06), seraya menambahkan bahwa pemanggilan tidak boleh hanya untuk klarifikasi.
Ia mengatakan pada dasarnya semua orang bisa berpendapat. Lalu, ketika ada pemanggilan atas alasan tertentu oleh pihak kepolisian, maka harus didasarkan atas adanya laporan atau pengaduan.
“Harus jelas alasannya memanggil. Orang juga yang dipanggil enggak usah takut kalau misalnya alasannya demi kepentingan umum, demi pembelaan,” sebutnya.
Presiden ke-4 Indonesia Abdurrahman Wahid alias Gus Dur memang dikenal senang humor
UU ITE dan kebebasan pers
Keberadaan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah lama menjadi perdebatan. Oleh beberapa pihak, UU ITE kerap dianggap mengancam kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan pers.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Abdul Manan, menguraikan kritik paling mendasar terhadap penyalahgunaan UU ITE yang seringkali ditunggangi oleh kepentingan lain.
“Kan dulu Undang-undang ITE ini semangatnya untuk mengatur soal transaksi elektronik […] tetapi pemerintah dan DPR kita anggap menyelundupkan pasal pencemaran nama baik, yang sebenarnya sudah ada dalam KUHAP,” ujar Abdul Manan kepada DW Indonesia, ketika dihubungi hari Kamis (18/06).
Ia pun menambahkan: “Pasal-pasal di UU ITE itulah yang selama ini terbukti sering dipakai untuk dengan mudah memidanakan wartawan.”
Pengeritik pemerintah ditekan, tidak hanya di Indonesia
Pada awal pekan ini, seorang jurnalis kawakan Filipina sekaligus pemimpin redaksi Rappler, Maria Ressa, divonis bersalah atas tuduhan pencemaran nama baik. Jurnalis yang pernah bergabung dengan CNN itu dilaporkan oleh seorang pengusaha atas sebuah berita tentang keterlibatan pebisnis tersebut dengan kasus pembunuhan, perdagangan orang dan narkoba.
Pegiat HAM dan advokat pers Filipina meyakini Maria Ressa dan media Rappler menjadi target upaya hukum karena kerap kritis terhadap kebijakan pemerintahan Presiden Filipina Rodrigo Duterte, yang dianggap kontroversial.
Di Amerika Serikat, Direktur VOA Amanda Bennett dan Wakil Direktur Sandy Sugawara, mengumumkan pengunduran diri pada Senin (15/06). Pengunduran diri mereka diyakini akibat adanya tekanan dari kubu Presiden AS Donald Trump. Banyak pihak menyebutkan, kedua peristiwa ini menunjukkan kebebasan pers semakin yang terancam akibat adanya tekanan dari pemerintah.
Jurnalis Filipina Maria Ressa
"Tren merisaukan"
Menanggapi hal ini, Abdul Manan mengatakan bahwa sangat mungkin hal serupa terjadi di Indonesia.
“Yang menjadi tren cukup merisaukan juga adalah bagaimana orang-orang yang tidak suka kepada pers, misalnya menggunakan media sosial melalui Buzzer untuk mem-bully wartawan,” katanya.
Menurut Abdul Manan, tindakan perundungan di media sosial semacam itu adalah bentuk intimidasi terhadap wartawan, karena ada pihak-pihak yang tidak suka dengan berita yang dianggap menjelek-jelekkan pemerintah.
Ia menyebut tanda-tanda tekanan terhadap kebebasan pers semakin tinggi, terutama melalui intimidasi di media sosial. “Kebijakan pemerintah yang kita anggap tidak suportif terhadap kebebasan, melalui pemblokiran internet, itu adalah tanda nyata bahwa ruang kebebasan pers tendensinya semakin menyempit dan menjadi alarm bagi pers,” tutupnya. (pkp/hp )
Peringkat Kebebasan Pers Negara Muslim Kekuasaan Musuh Kebebasan
Kekhawatiran bahwa gerakan radikal Islam membatasi kebebasan pers hampir sulit dibuktikan. Kebanyakan penindasan yang terjadi terhadap awak media di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim dilakukan oleh pemerintah, bukan ormas atau masyarakat, kecuali di kawasan konflik seperti Irak, Suriah atau Libya. Berikut peringkat kebebasan pers sejumlah negara muslim terbesar.
Peringkat Kebebasan Pers Negara Muslim #120 Afghanistan
Wartawan di Afghanistan memiliki banyak musuh, selain Taliban yang gemar membidik awak media sebagai sasaran serangan, pemerintah daerah dan aparat keamanan juga sering dilaporkan menggunakan tindak kekerasan terhadap jurnalis, tulis RSF. Namun begitu posisi Afghanistan tetap lebih baik ketimbang banyak negara berpenduduk mayoritas muslim lain.
Peringkat Kebebasan Pers Negara Muslim #124 Indonesia
Intimidasi dan tindak kekerasan terhadap wartawan dilaporkan terjadi selama masa kampanye Pilkada DKI Jakarta. Terutama kelompok radikal seperti FPI dan GNPF-MUI tercatat terlibat dalam aksi pemukulan atau penangkapan terhadap awak media. Namun begitu kaum radikal bukan dianggap ancaman terbesar kebebasan pers di Indonesia, melainkan militer dan polisi yang aktif mengawasi pemberitaan di Papua.
Peringkat Kebebasan Pers Negara Muslim #139 Pakistan
Wartawan di Pakistan termasuk yang paling bebas di Asia, tapi kerap menjadi sasaran serangan kelompok radikal, organisasi Islam dan dinas intelijen, tulis Reporters sans frontières. Sejak 1990 sudah sebanyak 2,297 awak media yang tewas. April silam, Mashal Khan, seorang wartawan mahasiswa tewas dianiaya rekan sekampus lantaran dianggap menistakan agama.
Peringkat Kebebasan Pers Negara Muslim #144 Malaysia
Undang-undang Percetakan dan Penerbitan Malaysia memaksa media mengajukan perpanjangan izin terbit setiap tahun kepada pemerintah. Regulasi tersebut digunakan oleh pemerintahan Najib Razak untuk membungkam media yang kritis terhadap pemerintah dan aktif melaporkan kasus dugaan korupsi yang menjerat dirinya. Selain itu UU Anti Penghasutan juga dianggap ancaman karena sering disalahgunakan.
Peringkat Kebebasan Pers Negara Muslim #155 Turki
Perang melawan media independen yang dilancarkan Presiden Recep Tayyip Erdogan pasca kudeta yang gagal 2016 silam menempatkan 231 wartawan di balik jeruji besi. Sejak itu sebanyak 16 stasiun televisi, 23 stasiun radio, 45 koran, 15 majalah dan 29 penerbit dipaksa tutup.
Peringkat Kebebasan Pers Negara Muslim #161 Mesir
Enam tahun setelah Revolusi Januari, situasi kebebasan pers di Mesir memasuki masa-masa paling gelap. Setidaknya sepuluh jurnalis terbunuh sejak 2011 tanpa penyelidikan profesional oleh kepolisian. Saat ini paling sedikit 26 wartawan dan awak media ditahan di penjara. Jendral Sisi terutama memburu wartawan yang dicurigai mendukung atau bersimpati terhadap kelompok Ikhwanul Muslimin.
Peringkat Kebebasan Pers Negara Muslim #165 Iran
Adalah hal ironis bahwa kebebasan pers menjadi salah satu tuntutan revolusi yang menanggalkan kekuasaan Shah Iran pada 1979. Namun janji itu hingga kini tidak ditepati. Iran masih menjadi kuburan dan penjara terbesar bagi awak media, tulis Reporters Sans Frontières. Saat ini tercatat 29 wartawan dipenjara dan belasan media independen diberangus oleh pemerintah.
Peringkat Kebebasan Pers Negara Muslim #168 Arab Saudi
Berada di peringkat 168 dari 180 negara, Arab Saudi nyaris tidak mengenal pers bebas. Internet adalah satu-satunya ranah media yang masih menikmati sejumput kebebasan. Namun ancaman pidana tetap mengintai blogger yang nekat menyuarakan kritiknya, seperti kasus yang menimpa Raif Badawi. Ia dihukum 10 tahun penjara dan 10.000 pecutan lantaran dianggap melecehkan Islam. (rzn/yf - sumber: RSF)