Trump Teken Perintah Eksekutif Reformasi Kepolisian

Tuntutan reformasi ini dipicu oleh kematian George Floyd, seorang pria kulit hitam yang meninggal di tangan mantan polisi Minneapolis, Derek Chauvin, pada 25 Mei lalu. 

dw
Rabu, 17 Juni 2020 | 15:06 WIB
Trump Teken Perintah Eksekutif Reformasi Kepolisian
Sumber: dw

Selasa (16/06), Presiden AS Donald Trump menandatangani perintah eksekutif yang bertujuan memperbaiki kinerja kepolisian di Amerika Serikat menyusul unjuk rasa nasional selama berminggu-minggu menuntut diakhirinya profil rasial dan kebrutalan polisi. Tuntutan reformasi ini dipicu oleh kematian George Floyd, seorang pria kulit hitam yang meninggal di tangan mantan polisi Minneapolis, Derek Chauvin, pada 25 Mei lalu. 

Selama sesi penandatanganan di Gedung Putih, Trump yang dapit oleh sejumlah petugas polisi yang berseragam lengkap, menyatakan secara singkat simpatinya untuk orang-orang yang tewas karena kekerasan polisi, tetapi dengan cepat ia kembali membela para penegak hukum. Trump mengatakan bahwa polisi yang menggunakan kekuatan berlebih hanyalah sejumlah "kecil" di antara para petugas yang "dapat dipercaya".

Apa isi perintah eksekutif tersebut?

Perintah eksekutif tersebut memungkinkan Departemen Kehakiman (DoJ) untuk memantau dan mengajukan pelatihan dan taktik deeskalasi pasukan polisi setempat dan membuat basis data untuk melacak petugas yang memiliki catatatan kekerasan.

Ini akan menyediakan insentif keuangan, mengikat pendanaan federal dari departemen lokal untuk mengadopsi standar praktik terbaik, salah satunya larangan menekan leher kecuali petugas tersebut dalam bahaya.

Perintah tersebut juga mengusulkan dana bantuan untuk program-program yang melibatkan kerjasama antara polisi dan pekerja sosial dalam merespon panggilan tanpa kekerasan, seperti kasus kesehatan mental, kecanduan narkoba, dan tunawisma.

Seantero AS Protes Kematian George Floyd “Saya tak bisa bernafas”

Gelombang protes terkait aksi brutal polisi terhadap orang kulit hitam dengan cepat menyebar dari Minneapolis ke kota-kota di seluruh AS. Protes dimulai di negara bagian Midwestern, sebagai reaksi atas perlakuan petugas polisi yang memborgol dan menekan leher George Floyd (46) -seorang pria kulit hitam- dengan lutut hingga meninggal. Floyd sempat meronta sambil mengatakan “Saya tak bisa bernafas.”

Seantero AS Protes Kematian George Floyd Berujung ricuh

Di Washington, pasukan Garda Nasional dikerahkan di luar Gedung Putih. Ribuan pengunjuk rasa berkumpul di Taman Lafayette sambil menyalakan suar. Satu orang tewas dalam penembakan di pusat kota Indianapolis, namun polisi mengklaim tak ada petugas terlibat. Sejumlah petugas polisi terluka di Philadelphia, sementara di New York dua kendaraan NYPD menerobos massa, membuat pengunjuk rasa tersungkur.

Seantero AS Protes Kematian George Floyd Cuitan kontroversial Trump

Merespon aksi protes yang berujung penjarahan di sejumlah kota di AS, Presiden Donald Trump pun mengancam akan mengirim pasukan militer untuk meredam gelombang protes. Bahkan ia sempat mencuit melalui akun Twitter-nya, “..ketika penjarahan dimulai, maka penembakan dimulai. Terima kasih!” Sontak cuitan Trump memicu ketegangan seantero AS.

Seantero AS Protes Kematian George Floyd Awak media jadi sasaran polisi?

Banyak jurnalis yang meliput aksi protes mendapati diri mereka menjadi sasaran aparat penegak hukum. Jumat (29/05), koresponden CNN Omar Jimenez dan krunya ditangkap saat tengah meliput di Minneapolis. Bahkan jurnalis DW Stefan Simons ditembaki oleh polisi dua kali ketika ia tengah melakukan siaran langsung.

Seantero AS Protes Kematian George Floyd Simpati dunia

Di Kanada, ribuan pengunjuk rasa turun ke jalan di Vancouver dan Toronto. Di Berlin, ekspatriat Amerika dan pengunjuk rasa lainnya berkumpul di luar Kedutaan Besar AS. Di London, para pemrotes berlutut di Trafalgar Square sebelum melakukan long march melewati Gedung Parlemen dan berhenti di depan Kedutaan Besar AS. (rap/pkp)

Penulis: Martin Kuebler

Tidak cukup

Menanggapi ini, aktivis hak-hak sipil maupun kubu Partai Demokrat mengatakan bahwa perintah itu tidak cukup kuat, dan menganjurkan reformasi total kepolisian, termasuk seruan untuk memangkas anggaran departemen kepolisian ke program sosial.

Nancy Pelosi, politisi Partai Demokrat yang merupakan Ketua DPR AS, menyebutnya dengan "perintah eksekutif yang lemah", gagal, dan "tidak sesuai dengan apa yang diperlukan untuk memerangi epidemi ketidakadilan rasial dan kebrutalan polisi yang membunuh ratusan warga kulit hitam Amerika."

"Kita harus menuntut perubahan yang berani, bukan dengan patuh menyerah seminimal mungkin," kata Pelosi.

Kongres AS saat ini sedang menyusun rancangan undang-undang reformasi kepolisian, dan kubu Demokrat sedang mengupayakan restrukturisasi yang lebih luas daripada kubu Republik. Salah satu contohnya, mengusulkan agar korban kebrutalan polisi dan keluarga mereka dapat  menuntut departemen penegakan hukum. Namun, kubu Republik menganggap ini terlalu berlebihan. Sebagai gantinya mereka merekomendasikan proses "desertifikasi" untuk petugas yang terlibat dalam pelanggaran.

rap/pkp (Reuters, AP, AFP, dpa)

BERITA LAINNYA

TERKINI