Kenapa Jerman Tak Berubah Setelah Pembunuhan Bermotif Rasisme 20 Tahun Lalu

Alberto Adriano, pria kulit hitam yang tinggal di Jerman, dipukuli hingga tewas oleh Neonazi, Juni 2000. Dua dekade berlalu, masih juga ada orang yang meragukan apakah rasisme

dw
Selasa, 16 Juni 2020 | 12:52 WIB
Kenapa Jerman Tak Berubah Setelah Pembunuhan Bermotif Rasisme 20 Tahun Lalu
Sumber: dw

Dua puluh tahun yang lalu Jerman dikejutkan oleh pembunuhan brutal berlatar belakang rasisme. Alberto Adriano, seorang pria berusia 39 tahun asal Mozambik dan ayah tiga orang anak, pada malam hari dicegat oleh anggota kelompok Neonazi ketika berjalan pulang dari menonton sepak bola di apartemen temannya.

Di tengah-tengah taman kota di Dessau, negara bagian Sachsen-Anhalt, tiga penyerangnya memukuli dan menendang Alberto Adriano berulang kali, bahkan setelah dia hilang kesadaran. Alberto Adriano meninggal di rumah sakit karena cedera parah di kepala tiga hari kemudian, pada 14 Juni 2000.

Ini adalah pembunuhan ekstremis ultra kanan pertama di bekas Jerman Timur sejak runtuhnya Tembok Berlin. Sedih dan marah, sekitar 5.000 orang kemudian berdemonstrasi di jalan-jalan kota Dessau.

Musisi dengan latar belakang Jerman-Nigeria, Ade Odukoya, yang lebih dikenal dengan nama Ade Bantu, masih ingat betapa ia terkejut saat mendengar kematian Adriano.

"Saya marah. Saya diliputi rasa takut dan saya juga merasa tidak bisa bergerak," katanya. Ia ingat saat itu dunia sedang bergembira menanti milenium baru, tapi lagi-lagi terjadi kasus pembunuhan bermotif rasisme.

Mengubah definisi menjadi ‘Jerman’

Bersama dengan musisi Jerman kulit hitam lainnya, Odukoya bertekad untuk bersuara. Mereka membentuk proyek anti-rasisme Brothers Keepers dan merilis lagu hip-hop berjudul "Adriano - Letzte Warnung" yang artinya Adriano - Peringatan Terakhir. Lagu ini menjadi top 10 hits di Jerman. Namun gerakan ini sekarang sudah bubar dan anggotanya terlibat dalam proyek lain. Ada juga versi perempuan dari gerakan itu, yang disebut Sisters Keepers.

"Apa yang kami inginkan adalah adanya pembahasan tentang 'Ke-Jerman-an', karena kami selalu merasa bahwa orang-orang Jerman selalu mengesampingkan orang dengan kulit berwarna," jelas Odukoya. "Saya berharap dengan lagu seperti 'Adriano - Letzte Warnung,' kami dapat mencapai pembahasan yang lebih luas mengenai identitas di Jerman." 

Ade Odukonya mengkritisi gambaran tentang identitas sebagai orang Jerman yang identik dengan kulit putih.

Diskriminasi rasial meresap sangat dalam

Namun, dua dekade kemudian Jerman masih berjuang menghadapi rasisme terhadap kulit hitam dan bentuk-bentuk rasisme lainnya. Badan Anti-Diskriminasi Federal Jerman (ADS)  Selasa lalu (09/06) merilis laporan tahunan untuk tahun 2019 ,dan angka-angkanya menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan signifikan dalam kasus diskriminasi rasial di Jerman.

Sedikitnya 1.176 kasus diskriminasi rasial dilaporkan ke ADS tahun lalu. Angka ini menunjukkan kenaikan 10 persen dari tahun sebelumnya, dan lebih dari dua kali lipat dari tahun 2015. Tetapi menurut Anetta Kahane, Ketua Dewan Antidiskriminasi Yayasan Amadeu Antonio, angka-angka ini tidak memberikan gambaran nyata tentang diskriminasi rasial di Jerman.

"Sejujurnya, saya tidak berpikir angka ini memberi kami banyak informasi. Hampir 1.200 kasus yang dilaporkan di negara sebesar Jerman menggambarkan bahwa ADS tidak benar-benar berfungsi," katanya. "Rasisme dan diskriminasi adalah masalah yang sangat besar."

Dia berpendapat bahwa Jerman perlu memiliki cara yang lebih mudah diakses bagi orang-orang untuk melaporkan insiden diskriminasi rasial dalam kehidupan sehari-hari, alih-alih harus melewati berbagai proses untuk membuat pengaduan resmi ke ADS. Dengan begitu, akan ada gambaran yang jauh lebih akurat tentang apa yang sedang terjadi.

Diskusi mandeg

Pengakuan akan adanya insiden rasisme dalam kehidupan sehari-hari sangat dibutuhkan. Tanpa itu, perdebatan tentang rasisme akan selalu dimulai dari nol. "Setiap kali kita berbicara tentang rasisme di Jerman, pertanyaan pertama yang selalu diajukan adalah: Apakah rasisme benar-benar ada di Jerman?" kata Aminata Touré, Wakil ketua Parlemen negara bagian Schleswig-Holstein.

"Pertanyaan ini menunjukkan bahwa kita tidak mengetahui diskriminasi rasial yang dihadapi banyak orang di Jerman."

Masalah lain yang masih ada dan juga dihadapi oleh Odukoya 20 tahun lalu adalah: gagasan bahwa menjadi orang Jerman secara otomatis berarti  orang kulit putih.

"Saya punya teman yang kakek buyutnya berasal dari Polandia, datang untuk bekerja di tambang di Essen," kata Odukonya. "Mereka sekarang generasi kedua, ketiga dan mereka orang Jerman. Tidak ada yang mempertanyakan latar belakang ini."

"Saya juga punya teman yang orang Afro-Jerman generasi ketiga, dan mereka masih disebut-sebut sebagai warga Jerman dengan latar belakang migrasi. Saya pikir, bahasa pengucilan seperti ini harus dihentikan. Kita harus berhenti menggunakan bahasa yang mendefinisikan perbedaan ini."

Kata-kata harus diikuti tindakan

Protes kesetaraan rasial bermunculan di seluruh dunia menyusul kematian warga Afrika-Amerika George Floyd. Di Jerman, demonstrasi Black Lives Matter juga terjadi di sekitar 25 kota.

Namun demikian, Odukoya tetap skeptis dengan keadaan ini sampai benar-benar ada "perombakan kebijakan negara."

"Sudah ada sejarah tentang kemarahan publik terkait serangan bermotif rasial. Tapi apa lantas ada perubahan kebijakan, apakah ini membuat orang kulit hitam merasa lebih aman di Jerman? Tidak," ujarnya.

"Adalah tugas Jerman untuk melakukan yang lebih baik dan melaksanakan janji-janji yang terus diucapkan dari satu generasi ke generasi lainnya." ae/hp

Monumen yang Diturunkan Pengunjuk Rasa Black Lives Matter Edward Colston: pedagang budak dan filantropis

Kontroversi mengenai patung Edward Colston di Bristol sudah menjadi perbincangan bertahun-tahun. Pada 7 Juni, para demonstran merobohkan patung dan melemparkannya ke dalam air. Colston bekerja untuk Royal African Society. Diperkirakan 84.000 orang Afrika diangkut untuk perbudakan; 19.000 dari mereka tewas di perjalanan. Tapi dia diperingati karena dermawan dan menyumbang untuk amal.

Monumen yang Diturunkan Pengunjuk Rasa Black Lives Matter Robert Baden-Powell: Pelopor Pramuka

Aktivis menuduh Robert Baden-Powell, pendiri gerakan Pramuka, bersikap rasis, homofobia, dan mengagumi Adolf Hitler. Patungnya berdiri di Pulau Brownsea di Inggris Selatan. Pemerintah setempat kini memutuskan untuk memindahkan patung Baden-Powell sebagai tindakan pencegahan perusakan.

Monumen yang Diturunkan Pengunjuk Rasa Black Lives Matter Raja Leopold II: Raja era kolonial Belgia

Patung Raja Leopold II di Belgia, yang memerintah negara itu dari tahun 1865 hingga 1909 dan mendirikan rezim kolonial yang brutal di Kongo. Dua dianggap sebagai salah satu pemimpin yang paling kejam dalam sejarah. Para pengunjuk rasa memolesi beberapa patungnya dengan cat. Pihak berwenang memindahkan patung di pinggiran kota Antwerpen, Ekeren, dan memasukan patung tersebut ke gudang museum.

Monumen yang Diturunkan Pengunjuk Rasa Black Lives Matter Christopher Columbus: dihormati dan dicemooh

Di AS juga banyak monumen yang didedikasikan untuk tokoh-tokoh sejarah yang kontroversial. Pengunjuk rasa telah menargetkan Christopher Columbus. Sebuah patung di Boston dipenggal (foto). Kelompok-kelompok pribumi Amerika Utara menolak pemujaan terhadap Columbus karena dianggap merintis penjajahan benua dan genosida penduduk asli.

Monumen yang Diturunkan Pengunjuk Rasa Black Lives Matter Columbus di Amerika Latin: sudut pandang yang berbeda

Beberapa orang melihat Columbus sebagai salah satu tokoh paling penting dalam sejarah dunia, tetapi bagi banyak orang di Amerika Latin, nama itu berarti awal dari era yang menyakitkan. Dari perspektif penduduk pribumi, kolonialisme Spanyol adalah bab gelap dalam sejarah mereka. Di Amerika Selatan, patung-patung Columbus telah dihancurkan atau dirusak di masa lalu.

Monumen yang Diturunkan Pengunjuk Rasa Black Lives Matter Jefferson Davis: Presiden perang saudara

Jefferson Davis adalah Presiden Negara Konfederasi Amerika, salah satu pemimpin dalam Perang Saudara abad ke-19 di AS. Para pengunjuk rasa menggulingkan dan mengecat patungnyadi Richmond, Virginia. Ketua DPR AS Nancy Pelosi mendesak agar patung-patung Konfederasi dipindahkan karena itu adalah monumen bagi para pria "yang mendukung kekejaman dan kebiadaban".

Monumen yang Diturunkan Pengunjuk Rasa Black Lives Matter Robert E. Lee: seorang tokoh pemecah belah

Patung Konfederasi lain di Richmond, Jenderal Robert E. Lee, akan diturunkan. Gubernur Ralph Northam telah memberi perintah untuk merobohkan monumen itu. Banyak warga Afrika-Amerika menganggap patung-patung politisi dan tentara Konfederasi sebagai simbol penindasan dan perbudakan.

Monumen yang Diturunkan Pengunjuk Rasa Black Lives Matter Nelson Mandela: seorang revolusioner anti apartheid

Presiden pertama Afrika Selatan Nelson Mandela punya berperan penting dalam memberantas rasisme terhadap warga kulit hitam. Patungnya di Inggris ini dipasangkan plakat "Black Lives Matter" oleh para pengunjuk rasa. (fs/hp)


BERITA LAINNYA

TERKINI