RUU Anti-terorisme Filipina Picu Ketakutan Akan Penyalahgunaan Kekuasaan

Militer Filipina beralasan bahwa UU Antiterorisme sebelumnya tidak memadai dijadikan landasan kasus yang kuat terhadap seorang tersangka teror.

dw
Selasa, 9 Juni 2020 | 17:43 WIB
RUU Anti-terorisme Filipina Picu Ketakutan Akan Penyalahgunaan Kekuasaan
Sumber: dw

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Senat Filipina baru-baru ini meloloskan Rancangan Undang-undang (RUU) Antiterorisme. RUU tersebut akan menggantikan Human Security Act 2007 silam dan menuai kontroversi. Aktivis menilai ini ditujukan untuk mengekang kebebasan sipil dan membungkam kelompok oposisi.

Pihak militer Filipina menilai Human Security Act 2007 perlu dilakukan pembaruan karena tidak cukup untuk memerangi teroisime di zaman modern seperti sekarang ini, di mana perekrutan dan perencanaan kegiatan teror dilakukan online.

Aturan baru ini memungkinkan pihak berwenang menangkap tersangka tanpa surat perintah resmi dan menahan mereka tanpa tuduhan untuk jangka waktu tertentu, dan menyadap mereka hingga 90 hari lamanya. Selain itu, akan dibentuk dewan antiteror untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan terorisme.

Selain itu, militer Filipina beralasan bahwa UU Antiterorisme sebelumnya tidak memadai dijadikan landasan kasus yang kuat terhadap seorang tersangka teror.

Dalam sidang dengar pendapat Senat di tahun 2018 tentang RUU Antiterorisme, mantan kepala militer Jenderal Carlito Galvez Jr mengatakan bahwa undang-undang yang ada hanya mengizinkan tiga hari untuk membangun sebuah kasus dan menuntut seorang tersangka. Akibatnya, kata Galvez, pihak berwenang dengan cepat harus membebaskan tersangka teror.

Presiden Rodrigo Duterte, yang ditetapkan untuk menandatangani RUU tersebut menjadi undang-undang, menyebut masalah terorisme di negaranya merupakan masalah mendesak. Namun RUU itu masih bisa ditentang di Mahkamah Agung. Menurut Antonio Carpio, seorang mantan hakim agung, "undang-undang itu berhubungan dengan hak-hak dasar konstitusional."

Penolakan meluas

RUU itu pun dikecam oleh sejumlah pihak di Filipina. Tagar #JunkTerrorBill menjadi trending di media sosial, dengan selebriti, pejabat pemerintah, dan bahkan kelompok bisnis menyatakan keprihatinan atas hal itu. Banyak yang khawatir pasukan keamanan dapat menyalahgunakan kekuasaan yang mereka miliki.

"RUU itu menyebut siapa saja yang menyatakan perbedaan pendapat sebagai seorang teroris. Ini akan memberi lebih banyak alasan kepada pihak berwenang untuk menghukum umat Muslim yang dianggap sebagai teroris," ujar Khads Sarael (20), seorang mahasiswa Muslim yang berpartisipasi dalam aksi protes pekan lalu, mengatakan kepada DW.

Dalam aksi protes yang berlangsung di Cebu tersebut, setidaknya polisi menangkap tujuh aktivis dan mahasiswa.

Namun, pendukung RUU ini berpendapat bahwa ada cukup perlindungan dalam aturan baru nanti untuk memastikan kebebasan berekspresi. "Mereka yang memprotes secara damai bukanlah teroris. Konstitusi kita menjamin aksi damai, karena mereka dilindungi oleh Deklarasi Hak-hak," kata Sekretaris Pertahanan Nasional Delfin Lorenzana dalam sebuah wawancara.

Tetapi para aktivis HAM tidak yakin dengan argumen tersebut. Mereka mengatakan catatan HAM pemerintahan Duterte buruk. Komunitas internasional mengkritisi cara Duterte menangani narkoba, dengan organisasi-organisasi HAM mencatat adanya pelecehan hak-hak sistematis, pembunuhan di luar proses hukum, dan penangkapan warga.

"Ada sangat sedikit pengamanan dalam hukum. Pada kenyataannya, kita telah melihat pertikaian pemerintah dalam menghadapi setiap oposisi dan kesewenang-wenangannya untuk membungkam perbedaan pendapat," kata Kristina Conti dari Public Interest Law Center kepada DW.

Perang Narkoba di Filipina, Warga Desak Investigasi Pelanggaran HAM Unjuk rasa tuntut investigasi

Keluarga korban yang anggota keluarganya terbunuh dalam "perang melawan narkoba" Presiden Rodrigo Duterte menunjukkan plakat dan potret kerabat mereka yang terbunuh. Mereka mendesak Komisi Hak Asasi Manusia PBB (UNHRC) untuk menyelidiki kemungkinan adanya pelanggaran HAM yang terjadi. Aksi unjuk rasa ini berlangsung di pinggiran kota Quezon, timur laut Manila, Filipina.

Perang Narkoba di Filipina, Warga Desak Investigasi Pelanggaran HAM Resolusi PBB

Pensiunan Uskup Katolik Roma Nicanor Yniguez (paling kiri) bergabung dengan keluarga korban dalam unjuk rasa ini. 47 negara anggota Komisi HAM PBB (UNHRC) akan memungut suara pada tanggal 12 Juli terkait resolusi pembentukan investigasi independen insiden pembunuhan sejak Duterte menjadi presiden tiga tahun lalu. Resolusi ini ditawarkan oleh Islandia dan beberapa negara anggota lain.

Perang Narkoba di Filipina, Warga Desak Investigasi Pelanggaran HAM "They Just Kill"

Dalam laporan Amnesty International yang berjudul "They Just Kill," organisasi HAM yang berbasis di London itu mendesak UNHRC untuk menyetujui resolusi yang menyerukan penyelidikan di Filipina. Menurut Amnesty, di sana sekarang ada "normalisasi berbahaya" dari praktik eksekusi ilegal dan pelanggaran oleh polisi.

Perang Narkoba di Filipina, Warga Desak Investigasi Pelanggaran HAM Belasan ribu korban

Ketua Komisi HAM Filipina, Chito Gascon (tengah), memimpin keluarga korban yang terbunuh di "perang melawan narkoba" dalam long march di ibukota Filipina, Manila. Jumlah korban tewas secara tepat tidak bisa diverifikasi. Namun, setidaknya enam ribu orang telah tewas sejak Duterte menjadi Presiden Filipina pada pertengahan 2016. Human Rights Watch (HRW) klaim 12 ribu orang telah terbunuh.

Perang Narkoba di Filipina, Warga Desak Investigasi Pelanggaran HAM Perang belum akan selesai

Peneliti HRW Filipina Carlos Conde mengatakan, HRW yakin situasi ini akan menjadi lebih buruk karena pembunuhan telah menjadi alat politik yang digunakan untuk menjaga popularitas Duterte. "Dia sendiri mengatakan masalah narkoba telah memburuk, semacam memprediksikan pernyataannya bahwa sebenarnya situasi juga akan memburuk," ujar Conde. (na/vlz, AP)

Warga Muslim jadi target?

Legislator dari wilayah Mindanao selatan yang dilanda pemberontakan telah menolak RUU Antiterorisme 2020, khawatir akan meningkatkan diskriminasi terhadap kaum Muslim.

"Undang-undang tidak akan membasmi terorisme; itu akan memberdayakan pemerintah untuk menandai lawan sebagai teroris," kata dewan perwakilan distrik Basilan Mujiv Hataman.

Basilan sendiri merupakan tempat berdirinya kelompok jihad Abu Sayyaf.

"Saya telah menangani banyak kasus warga Muslim ditangkap dan ditahan secara tidak benar," kata Hataman kepada DW.

"Kami mendukung upaya melawan terorisme, tetapi pemerintah tidak seharusnya mengorbankan hak asasi manusia," tambahnya.

Hataman berpandangan bahwa terorisme dapat diberantas melalui dialog, tata kelola pemerintahan yang baik, pendidikan dan penyediaan peluang mata pencaharian. "Ini adalah program yang kita butuhkan. Sayangnya, tidak ada satu pun yang disebutkan dalam RUU Antiterorisme."

(Ed: rap/pkp)

BERITA LAINNYA

TERKINI