Militer Thailand Dicurigai ‘Hilangkan Paksa‘ Pelarian Politik di Luar Neger

“Saat itu pejabat senior kepolisian Thailand berjanji akan membawa pulang Wanchalearm dengan berbagai cara,” tulis HRW.

dw
Senin, 8 Juni 2020 | 08:10 WIB
Militer Thailand Dicurigai ‘Hilangkan Paksa‘ Pelarian Politik di Luar Neger
Sumber: dw

Sekelompok pria bersenjata menghadang Wanchalearm Satsaksit di depan apartmennnya di ibu kota Kamboja, Phnom Penh, Kamis (4/6) sore. Mereka lalu menyeretnya ke sebuah mobil berwarna hitam yang diparkir tak jauh dari lokasi kejadian, lalu melesat dan menghilang tanpa jejak. 

Adegan tersebut terekam oleh sebuah kamera pengawas keamanan. Namun pemerintah Kamboja membantah adanya penculikan dan memastikan tidak akan melakukan penyelidikan terkait aduan tersebut, demikian dilansir organisasi HAM Human Rights Watch. 

HRW mencatat Kepolisian Thailand pada 2018 silam menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Wanchalearm karena mengoperasikan sebuah laman Facebook yang kritis terhadap pemerintah Bangkok.  

“Saat itu pejabat senior kepolisian Thailand berjanji akan membawa pulang Wanchalearm dengan berbagai cara,” tulis HRW. 

Diciduk lalu menghilang 

Somyot Prueksakasemsuk, seorang aktivis yang berasal dari lingkup yang sama dengan Wanchalearm, mengisahkan sudut pandang yang berbeda terkait kejadian penculikan Wanchalearm kepada kantor berita Associated Press.  

Pria yang pernah mendekam tujuh tahun di penjara gara-gara menghina kerajaan itu bercerita, Wanchalearm sedang berbicara lewat ponselnya ketika diculik. Temanmya di ujung sambungan mengaku “mendengar suara gaduh, seperti pertikaian,“ yang diiringi suara pria berbahasa asing, dan Wanchalearm mengerang tidak bisa bernafas, kisah Somyot yang mendengar kesaksian dari rekan Wanchalearm di telepon. 

Setidaknya enam warga eksil Thailand diculik di Laos antara 2016 dan 2018. Beberapa di antaranya ditemukan tak bernyawa dan mengambang di sungai Mekong. Rangkaian penculikan itu memicu kekhawatiran terhadap operasi misterius untuk menghilangkan secara paksa para aktivis kritis. 

Demonstrasi masal menentang junta militer Thailand pada 2010 dijadikan dasar bagi pemerintah membidik aktivis pro-demokrasi.

Semua korban pernah atau masih aktif di dalam gerakan politik Kaus Merah anti junta militer yang menggalang aksi protes massal tahun 2010 silam dan dibubarkan secara brutal oleh aparat keamanan. Sebagian tokohnya melarikan diri dan melanjutkan kampanye kritis terhadap pemerintahan militer Thailand dari luar negeri. 

Pemerintah dan militer Thailand menepis tuduhan ikut terlibat dalam kasus penghilangan paksa para eksil di Laos. Sementara Kepolisian Kamboja membantah pihaknya mengetahui penculikan Wanchalearm. Karena penculikan tidak tercatat secara resmi, kepolisian juga tidak akan melancarkan penyelidikan 

“Sejak pagi ini saya mendapat 50 telepon masuk yang menanyakan kabar ini dan jawaban saya selalu sama. Saya katakan ini adalah kabar palsu, berita yang tidak benar,“ kata Jendral Chhay Kim Khouen. 

Human Rights Watch mendesak investigasi menyeluruh terhadap kasus tersebut. 

Ancaman bagi pelarian di luar negeri 

Ketika sebagian pelarian Thailand berhasil mengamankan status sebagai pencari suaka politik di negara-negara barat, mereka yang tidak punya koneksi, surat resmi atau uang terjebak di negeri jiran seperti Kamboja atau Laos.  

Mereka kini terancam dipulangkan sebagai buron, lantaran kedekatan hubungan pemerintah kedua negara jiran itu dengan pemerintahan militer Thailand. 

Menurut organisasi HAM, beberapa orang aktivis menghilang dalam beberapa tahun terakhir di kawasan Mekong, tanpa disusul penyelidikan kepolisian. Kasus tersebut antara lain menimpa Itthipol Sukpaen yang menghilang pada Juni 2016, atau Wuthipong Kochathamakun pada bulan Juli 2017. Keduanya hidup di pengasingan di ibu kota Laos, Vientiane. 

Desember 2019 silam harian Bangkok Post menerbitkan editorial yang meratapi kasus penculikan terhadap aktivis pro-demokrasi. Di dalamnya, koran berbahasa Inggris itu mendesak pemerintahan di bawah Jenderal Prayut Chan-ocha “agar mulai membeberkan apa yang terjadi kepada para aktivis ini dan siapa yang harus bertanggungjawab atas kasus kemastian dan penghilangan paksa.” 

“Harus ada keadilan,” pungkas tim editorial dalam editorialnya. 

rzn/as (ap,dpa,bangkokpost) 

Thailand di antara Merah dan Kuning Korban tewas dan luka

Delapan orang tewas, ratusan mengalami luka-luka. Sejak kerusuhan berawal di Thailand beberapa pekan silam, eskalasi kekerasan antara demonstran dan aparat keamanan belum mereda. Beberapa hari lalu seorang pria tertembak ketika berunjuk rasa di Bangkok. Sang pelaku bisa melarikan diri.

Thailand di antara Merah dan Kuning Melawan Korupsi dan politik uang

Gambar ini merefleksikan aksi protes. Kelompok kaus kuning berkumpul di depan gedung pemerintahan di Bangkok. Mereka meneriakkan yel-yel anti korupsi dan pembelian suara. Kendati PM Yingluck Shinawatra telah menjadwalkan pemilu, gelombang demonstrasi belum berakhir. Oposisi khawatir, Shinawatra bisa kembali menang dengan membeli suara-suara kelompok miskin di pedesaan.

Thailand di antara Merah dan Kuning Kerugian di dua pihak

Setelah kematian seorang polisi, aparat keamanan Thailand juga turun ke jalan. Negara di utara Indonesia ini terbelah secara politis. Di satu sisi penduduk pedesaan yang kebanyakan berpenghasilan rendah. Mereka mendukung pemerintah. Di sisi lain masyarakat perkotaan dan penduduk mapan di selatan. Mereka berdemonstrasi menentang pemerintah.

Thailand di antara Merah dan Kuning Tembok pasir

Barikade setinggi manusia dewasa. Kantung pasir di depan gedung pemerintah dibangun buat melindungi demonstran. Musuh pemerintah itu berupaya memblokade pendaftaran kandidat legislatif jelang pemilu 2 Februari mendatang.

Thailand di antara Merah dan Kuning Elektabilitas Tinggi

Perdana Menteri Yingluck Shinawatra membubarkan parlemen awal Desember silam atas desakan demonstran. Ia bersikeras menggelar ulang pemilu dan berpeluang terpilih kembali menurut hasil jajak pendapat terakhir. Sebab itu oposisi menolak pemilu. Mereka bersikukuh membentuk pemerintahan baru tanpa keterlibatan rakyat lewat pemilu.

Thailand di antara Merah dan Kuning Anti Shinawatra

Oposisi Thailand berusaha mencegah keluarga Shinawatra kembali mencengkram politik Thailand. Kebencian terutama diarahkan terhadap bekas PM Thaksin Shinawatra yang berkuasa antara 2001 dan 2006. Thaksin melarikan diri usai divonis bersalah dalam kasus korupsi.

Thailand di antara Merah dan Kuning Pemimpin oposisi

Aksi protes dipimpin oleh bekas anggota parlemen, Suthep Thaugsuban. Pria berbadan tambun itu bersikeras baru akan menghentikan demonstrasi jika pemerintahan Yingluck membubarkan diri. "Rakyat akan berjuang hingga rejim Thaksin berakhir," katanya.

Thailand di antara Merah dan Kuning Bekas perdana menteri sebagai pemimpin oposisi

Kelompok oposisi dikawal oleh bekas Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva. Politikus berusia 46 tahun itu juga memboikot pemilihan umum, "rakyat telah kehilangan rasa hormat terhadap partai politik," ujarnya. "Mereka tidak akan menaruh kepercayaan terhadap pemerintah tanpa didahului oleh reformasi."

Thailand di antara Merah dan Kuning Seruan damai dari militer

Panglima militer, Jendral Prayuth Chan-Ocha berusaha memediasi dua kelompok yang saling berseteru di Thailand. Tapi ia juga tidak menjawab secara jelas soal isu kudeta yang kian santer, "militer tidak menutup kemungkinan terjadinya kudeta," katanya baru-baru ini.

Thailand di antara Merah dan Kuning Menunggu titah raja

Penduduk Thailand kini menunggu campur tangan Raja Bhumibol Adulyadej. Tapi penguasa 86 tahun itu belakangan sakit-sakitan dan lebih sering dirawat di rumah sakit. Awal Desember ia menyerukan rekonsiliasi, "setiap penduduk harus memberikan sumbangan untuk kepentingan negara," katanya saat perayaan ulang tahun.

Penulis: Stephanie Höppner


 
 
 


 

BERITA LAINNYA

TERKINI