Perubahan iklim diyakini akan merendam pulau-pulau kecil seiring naiknya permukaan air laut. Namun hal itu tidak menyurutkan niat Jepang melindungi klaim teritorialnya atas pulau-pulau di wilayah terluar perbatasan.
Pemerintah Tokyo saat ini sedang melancarkan kampanye diplomasi terhadap sejumlah negara jiran. Dengan Rusia, Jepang menuntut pengembalian kedaulatan atas pulau Sakhalin dan Kepulauan Kuril. Sementara kepada Korea Selatan, Tokyo menuntut penarikan mundur unit kepolisian dari Karang Liancourt yang terletak di antara kedua negara.
Jepang juga bersitegang dengan Cina dan Taiwan soal kepulauan Senkaku.
Namun upaya diplomasi itu terganjal kenaikan permukaan air laut yang kadung menenggelamkan sejumlah karang atau pulau kecilyang menjadi patokan geografis. Sejak tiga tahun terakhir, beberapa pulau menghilang dari permukaan laut.
Esanbe Hanakita Kojima misalnya baru dinamakan pada 2014, namun sudah menghilang awal 2018 silam. Pulau yang hanya setinggi 1,4 meter di atas permukaan laut itu diyakini tergerus oleh ganasnya perairan utara yang dingin dan membeku.
Pulau lain yang juga sudah lenyap adalah Suzume Kitakojima yang tercantum pada peta buatan tahun 1985, namun kini sudah menghilang.
“Nilai ekonomi pulau-pulau kecil ini sangat terbatas,” kata Akitoshi Miyashita, Guru Besar Hubungan Internasional di Universitas Sophia, Tokyo. “Tapi nilai politisnya bagi pemerintah dan kaum nasionalis sangat tinggi karena pulau-pulau itu ikut mendefinisikan sebuah negeri kepulauan.”
“Pemerintah tidak mampu berkompromi kalau sudah menyangkut wilayah kedaulatan Jepang,” imbuhnya kepada DW.
Kedaulatan di ujung tanduk
Untuk menjawab tantangan iklim, pemerintah saat ini sedang membetoni sebuah atol bernama Okinotorishima, 1.740km di selatan Tokyo. Karang seluas 10 meter persegi itu hanya muncul setinggi 16 sentimeter saat laut pasang. Namun keberadaannya menjamin akses terhadap Zona Ekonomi Ekslusif seluas 400.000 km per segi untuk dieksploitasi oleh Jepang.
Sebuah survei geologi mengungkap kawasan tersebut menyimpan harta karun berupa sumber daya maritim dan kandungan mineral yang berlimpah.
Namun negara jiran mengecam klaim tersebut karena berdalih, Konvensi Hukum Laut PBB mencantumkan bahwa “batuan atau karang yang tidak bisa menopang kehidupan manusia atau ekonomi secara mandiri tidak memiliki zona ekonomi ekslusif.”
Lokasi Karang Liancourt yang diduduki Korea Selatan, namun diklaim oleh Jepang.
“Isunya memang rumit,” aku Robert Dujarric, Guru Besar Hubungan Internasional di Temple University. Menurutnya faktor alam pula yang kelak menentukan.
“Cina, Korsel dan Taiwan bersikeras Okinotorishima cuma karang yang tidak bisa digunakan Jepang untuk memperluas ZEE-nya. Mereka menggugat ke PBB, tapi kisruh ini akan padam ketika permukaan air laut naik, seperti yang diprediksi, dan atol itu sepenuhnya terendam laut.”
Sebab itu pula Jepang mati-matian melindungi seonggok karang di tengah laut itu. “Potensi kerugian ekonomi akibat hilangnya akses terhadap sumber daya alam di kawasan ini akan sangat besar.”
Tekanan Cina
Belakangan Cina menjadi ancaman terbesar bagi klaim teritorial Jepang. Januari 2019 silam Tokyo melayangkan nota protes setelah kapal survei berbendera Cina terdeteksi melaut di sekitar atol Okinotorishima.
Kapal yang dioperasikan Otoritas Kemaritiman Negara itu dikhawatirkan sedang mengumpulkan data buat kepentingan eskplorasi sumber daya atau untuk merangkai peta bawah laut demi keperluan militer.
Kapal-kapal Cina bahkan mulai berani menjalankan survei di dalam wilayah teritorial Jepang, seperti dilaporkan harian Yomiuri yang mengutip sumber dari pemerintahan. Setidaknya tiga kapal survei Cina kedapatan mengumpulkan data di dalam wilayah yurisdiksi Jepang.
Menurut Dujarric, kedua negara “menjalankan strategi yang berbeda.” Ketika Jepang menggerrakkan mesin diplomasi, Cina “bertindak lebih agresif dengan mengirimkan kapal penjaga pantai ke wilayah negara lain.”
Kekhawatiran terbesar adalah eskalasi konflik jika Cina bersikeras mempertahankan klaimnya.
rzn/yp
Penjara Kaum Sipit di Negeri Kulit Putih Relokasi Paksa
Setelah serangan Jepang ke Pearl Harbor, pemerintah AS yang dipimpin Franklin D. Roosevelt tahun 1942 memerintahkan relokasi paksa 120.000 warga negara AS berdarah Jepang ke kamp-kamp pengasingan yang dijaga ketat. Mereka, tanpa terkecuali, dikategorikan sebagai enemy alien alias musuh asing.
Penjara Kaum Sipit di Negeri Kulit Putih Rasisme Terbuka
Gagasan dasar kamp pengasingan buat warga keturunan Jepang adalah untuk mencegah aksi spionase atau sabotase selama masa perang. Kecurigaan yang berdasarkan pola pikir rasialis dan dipicu oleh politisi dan militer itu ikut menyebar di kalangan penduduk.
Penjara Kaum Sipit di Negeri Kulit Putih Kerugian Materiil
Relokasi paksa cuma mengizinkan warga keturunan Jepang membawa barang-barang seadanya. Sebagian besar penduduk yang diasingkan akhirnya kehilangan harta benda atau dipecat dari pekerjaan hanya karena latarbelakang etnis. Petani yang menggarap lahan sewaan juga kehilangan hak sewanya seketika.
Penjara Kaum Sipit di Negeri Kulit Putih Penghilangan Etnis
Anehnya kelompok yang terkena kebijakan tersebut cuma warga keturunan Jepang. Sementara untuk warga negara AS berlatar belakang Eropa seperti Jerman atau Italia tidak mengalami relokasi atau hanya dalam skala kecil. Sekitar 300.000 warga negara Jerman yang saat itu tinggal di Amerika misalnya cuma harus melaporkan diri secara berkala.
Penjara Kaum Sipit di Negeri Kulit Putih Minim Fasilitas
Bahwa keputusan tersebut diambil secara mendadak, terlihat dari ketidaksiapan pemerintah AS membangun fasilitas perumahan untuk mereka yang diasingkan. Sebagian bahkan dibiarkan tinggal di barak kayu tanpa dapur atau saluran pembuangan. Di banyak kamp, barak yang sedianya dibangun untuk empat orang disesaki hingga 25 orang.
Penjara Kaum Sipit di Negeri Kulit Putih Kondisi Muram
Pada 1943 Menteri Dalam Negeri AS Harold Ickles mengeluhkan kondisi di kamp yang dinilainya "buruk dan semakin parah." Pasalnya kualitas sebuah kamp bergantung pada pemerintahan negara bagian yang memfasilitasi pengasingan warga keturunan Jepang.
Penjara Kaum Sipit di Negeri Kulit Putih Doktrin dan Propaganda
Untuk sekitar 30.000 bocah yang ikut direlokasi paksa bersama keluarganya, kamp pengasingan serupa seperti pusat re edukasi. Mereka tidak hanya dilarang berbicara bahasa Jepang, tetapi juga dicekoki materi pelajaran berbau propaganda untuk membangun jiwa patriotisme. Minimnya tenaga pengajar dan buku pelajaran juga memperburuk kualitas pendidikan di kamp-kamp tersebut.
Penjara Kaum Sipit di Negeri Kulit Putih Melanggar Konstitusi
Pada Desember 1944, Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan penahanan warga negara tanpa alasan jelas melanggar konstitusi. Keputusan tersebut mengakhiri praktik relokasi paksa terhadap warga keturunan Jepang. Tapi butuh waktu lebih dari satu tahun untuk membubarkan kamp-kamp pengasingan.
Penjara Kaum Sipit di Negeri Kulit Putih Aroma Permusuhan
Sebagian besar bekas tahanan diberikan uang sebesar 25 Dollar AS untuk melanjutkan hidup setelah masa pengasingan. Namun sejumlah lain diusir paksa kembali ke Jepang tanpa uang ganti rugi. Penduduk yang kembali ke kota asalnya juga dilaporkan mengalami presekusi dan teror, antara lain penembakan dan ledakan bom di rumah tinggal.
Penjara Kaum Sipit di Negeri Kulit Putih Setengah Abad Menunggu Maaf
Menyusul tekanan dari aktivis sipil, pemerintah Amerika Serikat 1980 akhirnya sepakat memberikan uang ganti rugi sebesar 20.000 Dollar AS terhadap setiap warga yang diasingkan. Namun baru 11 tahun kemudian korban relokasi mendapat permintaan maaf resmi dari Gedung Putih, yakni oleh Presiden George Bush Sr. (rzn/ap)