Studi: Indonesia Berhasil Tekan Deforestasi, Tapi Masih Tiga Besar Dunia

"Dibutuhkan waktu puluhan tahun atau bahkan berabad-abad bagi hutan-hutan ini untuk kembali ke keadaan semula,” Weisse menambahkan. 

dw
Kamis, 4 Juni 2020 | 09:38 WIB
Studi: Indonesia Berhasil Tekan Deforestasi, Tapi Masih Tiga Besar Dunia
Sumber: dw

Laporan terbaru World Resources Institute (WRI), yang dirilis Selasa (02/06) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2019 dunia kehilangan tutupan pohon hutan primer seluas 11,9 juta hektar. Hampir sepertiga dari angka tersebut -3,8 juta hektar- terjadi di hutan primer tropis. Jika dianalogikan, berarti dunia kehilangan hutan primer tropis seluas satu lapangan sepak bola setiap enam detik.  

Laporan ini dibuat berdasarkan data dari University of Maryland yang dirilis dalam proyek Global Forest Watch (GFW), yang bertujuan untuk memberikan data spasial kehutanan kepada pemerintah global yang nantinya dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan pengawasan hutan di wilayah mereka.  

Para peneliti telah melakukan survei ini sejak dua dekade. Dari data tersebut diketahui persentase kehilangan hutan primer tropis meningkat 2,8% dibanding tahun sebelumnya. Brasil menjadi negara yang mengalami kehilangan terbesar hutan primer (1.361.000 hektar), disusul Republik Demokratik Kongo (475.000 hektar), dan Indonesia (324.000 hektar). 

"Kami prihatin bahwa tingkat kehilangan begitu tinggi, terlepas dari semua upaya berbagai negara dan perusahaan untuk mengurangi deforestasi," kata ketua peneliti Mikaela Weisse, manajer proyek GFW di World Resources Institute (WRI). 

Aktivitas manusia seperti penebangan dan pembakaran hutan untuk pembukaan lahan menjadi penyebab utama hilangnya hutan primer global. Hal ini diperparah dengan ancaman perubahan iklim yang semakin nyata. Hutan merupakan tempat “penguncian” karbon, sehingga kehilangan hutan berarti sama dengan melepaskan karbon ke atmosfer. Sedikitnya 1,8 Gg CO2e dilepas ke atmosfer sepanjang tahun 2019, setara dengan emisi tahunan 400 juta kendaraan bermotor. 

"Dibutuhkan waktu puluhan tahun atau bahkan berabad-abad bagi hutan-hutan ini untuk kembali ke keadaan semula,” Weisse menambahkan. 

Menurun di Indonesia 

Meski menempati urutan ketiga negara dengan deforestasi tertinggi di dunia, Indonesia dinilai berhasil meredam laju penggundulan hutan, yang angkanya turun 5% dibanding tahun 2018. Ini menjadi tahun ketiga berturut-turut Indonesia mampu menekan angka kehilangan hutan primer. 

Dalam laporan tersebut dituliskan bahwa kebijakan pemerintah Indonesia turut berkontribusi dalam penurunan ini. Kepada DW Indonesia, Senior Manajer WRI Indonesia, Arief Wijaya, mengatakan, perbaikan tata kelola hutan dan lahan yang dilakukan pemerintah Indonesia mulai membuahkan hasil. 

“Pertama, mulai dari penegakan hukum, aktor-aktor yang disinyalir atau bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan itu diseret ke pengadilan. Kedua restorasi gambut menjadi fokus. KLHK juga punya dirjen PPKL yang untuk restorasi gambut, kemudian pemerintah membetuk BRG (Badan Restorasi Gambut) juga yang bertanggung jawab untuk merestorasi 2,6 juta hektar lahan gambut yang terdegradasi di 7 provinsi prioritas,” jelas Arief saat dihubungi DW Indonesia, Rabu (03/06). 

Selain itu, program-program CSR dari perusahaan-perusahaan swasta di Indonesia  dan moratorium hutan yang diterbitkan pada tahun 2011 juga turut andil dalam penurunan angka kehilangan hutan primer. “Konversi hutan primer dan lahan gambut sekarang sudah tidak boleh. Ada juga moratorium sawit, jadi pemberian izin baru untuk perluasan lahan sawit juga sudah tidak diperbolehkan,” Arief menambahkan. 

Sebagai negara yang “masih menggantungkan ekonominya terhadap sumber daya alam,” Arief mengatakan secara umum degradasi hutan dan lahan di Indonesia disebabkan karena beralih fungsinya hutan dan lahan menjadi perkebunan untuk kepentingan industri. “Harusnya kegiatan itu bisa dilakukan dengan cara yang lebih baik,” imbuh Arief. 

Bahwa Indonesia menempati  peringkat ketiga negara yang kehilangan hutan primer terbanyak di dunia, Arief berpendapat hal tesebut tidak luput dari faktor total luasan hutan yang dimiliki suatu negara. “Kalau mau lebih fair penilaiannya itu tidak hanya dilihat dari total deforestasi, tapi dibandingkan juga dengan berapa total luas hutan yang ada di negara tersebut,” tegasnya. 

Lebih lanjut Arief menyampaikan beberapa rekomendasi seperti perbaikan tata kelola lahan, ketersediaan data dan peta spasial yang akurat, penyelesaian konflik kepemilikan lahan, dan penegakan hukum yang tidak “runcing ke bawah tumpul ke atas.” Ini diharapkan dapat terus menekan angka hilangnya hutan primer di Indonesia di waktu yang mendatang. 

“Kalau Indonesia sudah mampu mengurangi deforestasi, harapannya ke depan jadi zero deforestation. Kemudian hutan yang sudah rusak bisa kembali”. Jadi tidak hanya menurunkan deforstasi, melainkan juga mengembalikan hutan yang sudah hilang, pungkasnya. 

Upaya Dunia Kembalikan Hutan yang Hilang Cina

Beijing telah meningkatkan upaya untuk menanam miliaran pohon di seluruh kota di Cina, terutama wilayah bagian utara yang terancam seperti gurun. Pemerintah telah berjanji untuk meningkatkan luas hutan hingga 30% sampai tahun 2050. Meskipun, data dari World Bank mengatakan hanya ada 22% peningkatan luas hutan. Para kritik berkata bahwa spesies asing dan pertanian monokultur mengancam sumber air.

Upaya Dunia Kembalikan Hutan yang Hilang Irak

Di Irak, hujan yang terbatas, menurunnya permukaan air, kenaikan suhu yang tinggi dan situasi keamanan yang tidak stabil dapat memperburuk penggurunan. Terinspirasi dari teknik yang dipakai di Cina, Irak memakai kotak jerami untuk menahan tanah dan menyediakan dasar untuk rumput, tanaman yang lebih besar. Para ahli berharap upaya ini dapat menahan bukit pasir.

Upaya Dunia Kembalikan Hutan yang Hilang Niger

Niger telah mengambil langkah yang berbeda. Petani lokal membantu penghijauan kembali seluas 50.000 kilometer persegi dengan berbagai tumbuhan lokal dan teknik menumbuhkan pohon dari akar yang sudah ada. Teknik ini dikembangkan oleh ahli agronomis dari Austalia, Tony Rinaudo yang telah diakui oleh Right Livelihood Award pada tahun 2018.

Upaya Dunia Kembalikan Hutan yang Hilang Burkina Faso

Salah satu program PBB, yakni REDD+ kini membantu petani dalam upaya menanam pohon dengan skala yang besar, hingga lebih dari 300.000 hektar tanah untuk membantu mitigasi penggurunan di Burkina Faso. Hutan-hutan di Burkina Faso terancam karena perluasan peternakan dan pertumbuhan penduduk.

Upaya Dunia Kembalikan Hutan yang Hilang India

Upaya penanaman pohon menjadi upaya yang sangat besar di India, negara yang hampir 30% tanahnya mengalami degradasi karena peternakan, urbanisasi, dan penggurunan. Warga India telah bergabung dalam kampanye untuk memecahkan rekor dengan menanam ribuan juta bibit. Pemerintah berjanji untuk mengembalikan 26 juta hektar tanah pada tahun 2030.

Upaya Dunia Kembalikan Hutan yang Hilang Peru

Hutan hujan Amazon terancam karena peternakan, ekstraksi sumber daya dan kebakaran yang terjadi pada tahun 2019. Deforestasi di Brasil mengalami kenaikan hingga ke level tertinggi dalam lebih dari satu dekade tahun lalu. Di negara tetangga Peru, upaya reboisasi menargetkan lahan yang rusak oleh penambangan emas ilegal, serta situs arkeologi Machu Picchu, yang berisiko longsor dan kebakaran hutan.

Upaya Dunia Kembalikan Hutan yang Hilang Australia

Kebakaran hutan yang terjadi di Australia memusnahkan seperlima hutan dan membunuh sekitar 1 miliar hewan. Pada bulan Desember, World Wide Fund for Nature meluncurkan rencana untuk "menyelamatkan dan menumbuhkan" 2 miliar pohon pada tahun 2030. "Solusi ini dapat dicapai dengan melindungi pohon yang ada, memungkinkan hutan yang ditebang untuk beregenerasi dan menanam pohon baru," kata WWF.

Upaya Dunia Kembalikan Hutan yang Hilang Kanada

Seorang veteran penanam pohon dari Kanada telah melakukan reboisasi selama beberapa dekade di lahan pribadi dan publik. Undang-undang mewajibkan industri kehutanan untuk menanam kembali setelah tebang habis. Dalam kampanye pemilihan 2019, Perdana Menteri Justin Trudeau berkomitmen untuk menambah 2 miliar pohon selama dekade berikutnya.

Upaya Dunia Kembalikan Hutan yang Hilang Inggris

Di Inggris utara, pohon-pohon hanya menutupi 7,6% dari pedesaan. Tapi Hutan Utara baru akan dibentuk dari Liverpool barat ke Hull timur selama 25 tahun ke depan. Hal ini mengikuti keberhasilan Hutan Nasional yang berada lebih jauh ke selatan. Diharapkan dengan lebih banyak pohon akan membantu meringankan perubahan iklim, mengurangi banjir dan menciptakan lapangan kerja.

Upaya Dunia Kembalikan Hutan yang Hilang Jerman

Pada KTT hutan nasional September lalu, Berlin mencurahkan € 800 juta (sekitar 13 triliiun rupiah) untuk membantu merawat dan mengisi kembali pohon-pohon di seluruh Jerman, yang telah menderita akibat cuaca panas dan kering, juga serangan kumbang. Pakar kehutanan sedang mencari spesies asli yang kuat yang dapat beradaptasi dengan perubahan iklim Eropa.

Upaya Dunia Kembalikan Hutan yang Hilang Indonesia

Penebangan liar menjadi masalah bagi Indonesia selama bertahun-tahun. Selain karena praktik industrialisasi, kondisi hutan kini memburuk karena lemahnya penegakan hukum. Hal ini membuat Yayasan Lindungi Hutan Indonesia menginisiasi upaya menanam lebih dari 50.000 pohon di beberapa wilayah di Indonesia. Tak hanya itu, WWF-Indonesia juga ikut serta dalam penanaman lebih dari 127.000 bibit mangrove.

Upaya Dunia Kembalikan Hutan yang Hilang Rumania

Penebangan liar yang meluas - sebagai akibat dari perusahaan kayu dan pembuat furnitur di Eropa Barat - menghancurkan beberapa hutan di Eropa. Menurut Greenpeace, Rumania kehilangan sekitar 3-9 hektar hutan per jam karena perusahaan kayu yang tidak jujur. Pada awal 2020, Kementerian Lingkungan Hidup mengumumkan rencana untuk menanam kembali lebih dari 1.000 hektar hutan yang terkena dampak ini.

Penulis: Martin Kuebler

Bolivia melesat, Kolombia turun drastis 

Dalam laporan tersebut disebutkan, Bolivia mengalami peningkatan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2018, Bolivia kehilangan lebih kurang 154 ribu hektar hutan primer. Angka ini meningkat 80% di tahun 2019 menjadi 290 ribu hektar, menempatkan Bolivia di urutan keempat setelah Indonesia. 

 "Hutan Chiquitano yang memiliki keanekaragaman hayati sangat terpengaruh, dengan laporan bahwa hampir 12% dari wilayah hutan tersebut terbakar," kata laporan terbaru WRI. 

Kontras dengan Bolivia, Kolombia justru mengalami penurunan signifikan setelah pada tahun 2017 dan 2018 mencatat angka kehilangan hutan primer yang cukup tinggi. Di tahun 2019, Kolombia mencatat kehilangan sebanyak 115.000 hektar, 62 ribu lhektar ebih sedikit dibanding tahun sebelumnya. 

Tren ini menunjukkan bahwa pemerintah Kolombia serius dalam mememerangi deforestasi. Pada April 2019, Presiden Kolombia meluncurkan “Operasi Artemisa,” dengan menerjunkan militer, polisi dan entitas publik lainnya untuk menghentikan deforestasi. Meski operasi tersebut sempat dinilai kontroversial mengingat tindakan yang dilakukan pihak militer. Meski menurun, angka kehilangan hutan primer di Kolombia di tahun 2019 masih tergolong tinggi dalam rentang dua dekade terakhir. 

Peneliti WRI Frances Seymour juga menyoroti soal kepastian hukum atas hutan adat, yang dinilainya sudah “memberikan perlindungan hutan yang lebih baik.” 

“Kita tahu deforestasi lebih rendah terjadi di wilayah hutan adat,” katanya. 

Negara lainnya seperti Peru, Malaysia, Laos, Meksiko, dan Kamboja turut melengkapi daftar 10 negara dengan kehilangan hutan primer terbesar di seluruh dunia. 

rap/hp (dari berbagai sumber) 

BERITA LAINNYA

TERKINI