Trump Kerahkan Ribuan Tentara-Polisi, Otopsi Floyd Tunjukkan Sesak Napas

Hasil Otopsi menemukan bahwa Floyd meninggal karena sesak napas akibat pembunuhan.

dw
Rabu, 3 Juni 2020 | 09:43 WIB
Trump Kerahkan Ribuan Tentara-Polisi, Otopsi Floyd Tunjukkan Sesak Napas
Sumber: dw

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan pada Senin (01/06) bahwa ia mengerahkan ribuan tentara dan polisi bersenjata berat, untuk mencegah terjadinya kerusuhan lebih lanjut di Amerika Serikat.

"Apa yang terjadi di kota ini tadi malam benar-benar memalukan," ujar Trump dalam pidato nasional merujuk pada kondisi bangunan dan monumen yang dirusak di dekat Gedung Putih.

"Saya mengirim ribuan tentara yang bersenjata lengkap, personel militer, dan petugas penegak hukum untuk menghentikan kerusuhan, penjarahan, vandalisme, penyerangan, dan perusakan properti secara abai."

Trump sebut kerusuhan sebagai “aksi teror domestik”

Trump menyebut aksi protes nasional terhadap kematian seorang pria Afrika-Amerika George Floyd di tangan polisi, yang berubah menjadi kerusuhan massal sebagai "aksi teror domestik." Demonstrasi sebagian besar berjalan damai pada siang hari namun berubah menjadi aksi kekerasan pada malam hari.

"Saya ingin para koordinator teror ini mengetahui bahwa Anda akan menghadapi hukuman pidana berat dan jangka hukuman yang panjang di penjara," kata Trump, seraya polisi mengurai massa yang berada di luar Gedung Putih dengan gas air mata dan granat setrum.

Ia juga meminta para gubernur negara bagian untuk mengerahkan pengawalan nasional dalam jumlah yang cukup untuk mendominasi jalanan AS.

Trump sempat menyambangi St John, “gereja para presiden” yang rusak akibat kerusuhan. Ia berfoto di sana, tempat banyak presiden mengadiri layanan keagamaan, bersama beberapa anggota pemerintahannya, termasuk Jaksa Agung Wiliam Barr, penasihat keamanan nasional Robert O’Brien dan pembantu lainnya.

Presiden AS Donald Trump memegang kitab sambil berfoto foto di Gereja St. John

Gubernur New York Andrew Cuomo berkomentar melalui Twitter-nya terkait langkah Trump mengirim ribuan pasukan pengamanan protes dan kunjungannya ke gereja St. John yang dinilai banyak pihak hanya pencitraan.

“Presiden memanggil militer Amerika untuk melawan warga Amerika. Dia menggunakan militer untuk membungkam protes damai sehingga dia bisa memiliki kesempatan berfoto di sebuah gereja. Itu semua hanya ‘reality show’ bagi presiden ini. Memalukan."

Hasil otopsi Floyd akibat sesak napas dan pembunuhan

Hasil otopsi independen yang dirlis pada Senin (01/06) atas pengajuan keluarga Floyd, menemukan bahwa Floyd meninggal karena sesak napas akibat pembunuhan. Terdapat beberapa tekanan fisik yang mengganggu pasokan oksigen ke tubuhnya. Laporan itu mengatakan tiga petugas turut berkontribusi pada kematian Floyd.

"Buktinya konsisten dengan asfiksia mekanik (mati lemas) sebagai penyebab kematian, dan pembunuhan sebagai penyebab kematian," ujar Aleccia Wilson, pakar Universitas Michigan yang memeriksa jenazah Floyd atas permintaan keluarga, dalam konferensi pers.

Pemeriksa Medis Kabupaten (county) Hennepin pada Senin (01/06) juga merilis rincian temuan otopsi yang menyebut kematian Floyd sebagai pembunuhan yang disebabkan oleh sesak napas.

Laporan tersebut menambahkan bahwa Floyd menderita henti jantung ketika ditahan oleh polisi di aspal dan lehernya ditindih menggunakan lutut. Namun, dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa Floyd menderita penyakit jantung arteriosklerotik dan hipertensi, keracunan fentanil dan penggunaan metamfetamin baru-baru ini.

Tetapi dua dokter forensik yang melakukan otopsi independen dan dua pengacara keluarga Floyd mengatakan bahwa pria berusia 46 tahun itu tidak memiliki riwayat kesehatan yang mungkin berkontribusi pada kematiannya. Mereka berargumen bahwa tidak hanya petugas polisi yang menindih leher Floyd dengan lututnya namun juga dua petugas yang menekan berat badan mereka ke punggung Floyd ketika dia tertelungkup di aspal, sehingga menyebabkan aliran darah ke otak terhenti.

pkp/rap (Reuters, AFP)

Seantero AS Protes Kematian George Floyd “Saya tak bisa bernafas”

Gelombang protes terkait aksi brutal polisi terhadap orang kulit hitam dengan cepat menyebar dari Minneapolis ke kota-kota di seluruh AS. Protes dimulai di negara bagian Midwestern, sebagai reaksi atas perlakuan petugas polisi yang memborgol dan menekan leher George Floyd (46) -seorang pria kulit hitam- dengan lutut hingga meninggal. Floyd sempat meronta sambil mengatakan “Saya tak bisa bernafas.”

Seantero AS Protes Kematian George Floyd Berujung ricuh

Di Washington, pasukan Garda Nasional dikerahkan di luar Gedung Putih. Ribuan pengunjuk rasa berkumpul di Taman Lafayette sambil menyalakan suar. Satu orang tewas dalam penembakan di pusat kota Indianapolis, namun polisi mengklaim tak ada petugas terlibat. Sejumlah petugas polisi terluka di Philadelphia, sementara di New York dua kendaraan NYPD menerobos massa, membuat pengunjuk rasa tersungkur.

Seantero AS Protes Kematian George Floyd Cuitan kontroversial Trump

Merespon aksi protes yang berujung penjarahan di sejumlah kota di AS, Presiden Donald Trump pun mengancam akan mengirim pasukan militer untuk meredam gelombang protes. Bahkan ia sempat mencuit melalui akun Twitter-nya, “..ketika penjarahan dimulai, maka penembakan dimulai. Terima kasih!” Sontak cuitan Trump memicu ketegangan seantero AS.

Seantero AS Protes Kematian George Floyd Awak media jadi sasaran polisi?

Banyak jurnalis yang meliput aksi protes mendapati diri mereka menjadi sasaran aparat penegak hukum. Jumat (29/05), koresponden CNN Omar Jimenez dan krunya ditangkap saat tengah meliput di Minneapolis. Bahkan jurnalis DW Stefan Simons ditembaki oleh polisi dua kali ketika ia tengah melakukan siaran langsung.

Seantero AS Protes Kematian George Floyd Simpati dunia

Di Kanada, ribuan pengunjuk rasa turun ke jalan di Vancouver dan Toronto. Di Berlin, ekspatriat Amerika dan pengunjuk rasa lainnya berkumpul di luar Kedutaan Besar AS. Di London, para pemrotes berlutut di Trafalgar Square sebelum melakukan long march melewati Gedung Parlemen dan berhenti di depan Kedutaan Besar AS. (rap/pkp)

Penulis: Martin Kuebler

BERITA LAINNYA

TERKINI