Protokol pencegahan wabah sekilas sangat mudah. Penduduk diimbau menjaga kebersihan dan mencuci tangan secara rutin untuk mencegah penularan virus corona. Namun tindakan mudah tersebut nyaris mustahil buat warga di pemukiman kumuh New Delhi, India.
Masalahnya, air bersih kini jadi barang langka. Setiap tahun gelombang panas melanda sejumlah kawasan di India. Hari-hari ini temperatur di dataran rendah diprediksi bisa menyentuh angka 50 derajat Celsius. Tidak heran jika bencana kekeringan menjadi ancaman tahunan.
Bala Devi, seorang janda di usia 44 tahun, mendapati dirinya terjebak di dalam karantina rumah bersama delapan anaknya. Di tengah gelombang panas yang kering menyengat dan tanpa akses air bersih, hunian kecilnya itu terasa bagai sebuah kurungan.
"Suhunya begitu panas, anak-anak terus-terusan meminta air minum. Bagaimana saya bisa memberikan mereka air untuk mencuci tangan jika untuk minum saja airnya tidak cukup?,” tukasnya.
"Setiap tetes air adalah kemewahan buat kami. Kami tidak bisa memboroskannya buat mandi,” katanya sembari menjepit hidung membaui saluran air yang tersumbat.
Di luar, terik matahari dan suhu setinggi 45 derajat Celsius menyengat kulit mereka yang harus berpergian di tengah karantina. Beruntung Davi sudah membeli kipas angin buat mengusir rasa gerah di rumah petak satu kamar itu.
Dia dan penghuni lain di bangunan tersebut berlangganan air secara bulanan. Tapi air hanya mengucur sesekali, dan pipa yang menghubungkan bangunan pemukiman dengan sumber air tanah malah hanya menghembuskan hawa berbau tak sedap.
Saban kali, Davi dan delapan orang anaknya harus mengantri di toilet umum. Adapun "toilet” yang ada di rumahnya cuma berupa sebuah ember di balik selembar tirai kain.
"Jika kami tidak bisa mandi atau mencuci tangan yang kotor, virusnya pasti akan menyerang kami, tapi apa yang bisa kami lakukan?” tutur sesama penghuni gedung, Anita Bisht.
"Anak-anak kami sudah mulai jatuh sakit,” imbuhnya sembari menggendong seorang bocah dalam dekapan.
Pekerja migran di New Delhi yang ingin kembali ke kampung halamannya sedang menunggu di stasiun bis
Emas Cair
Bahkan sebelum wabah corona, kelangkaan air sudah menjadi keseharian bagi 100 juta warga miskin yang hidup di kawasan kumuh India.
Perdana Menteri Narendra Modi sebenarnya sudah menempatkan infrastruktur air ke dalam daftar prioritas pembangunan. Dia berjanji akan menyediakan air bersih untuk 145 juta rumah tangga pada 2024.
Saat ini diperkirakan sekitar sepertiga populasi India yang berjumlah 1.3 miliar manusia harus berhemat air, dengan mengurangi aktivitas mandi atau mencuci. Mereka yang hidup paling terpencil dari sumber air harus menggantungkan hidup pada kiriman rutin yang diangkut dengan truk tangki. Tidak jarang pembagian air berujung perkelahian antarwarga. Tahun lalu kota Chennai di selatan bahkan kehabisan cadangan air sama sekali.
Gelombang panas belakangan menjadi fenomena lumrah di India. Pekan ini suhu udara setinggi 50 derajat Celsius terekam di barat negara bagian Rajasthan. Separuh wilayah ibu kota New Delhi mencatat suhu bulan Mei paling tinggi sejak 20 tahun terakhir.
Menurut data pemerintah, gelombang panas membunuh sedikitnya 3.500 penduduk sejak tahun 2015. Angka itu belum ditambah kasus bunuh diri oleh petani yang mengalami gagal panen akibat bencana kekeringan. Meski demikian, hanya tujuh persen rumah tangga di India yang memiliki pendingin ruangan.
Tarun Gopalakrishnan dari Pusat Sains dan Lingkungan meyakini pemerintah India harus bersiap memitigasi dampak periode panjang gelombang panas di masa depan. "Kalau kita lihat rata-rata data musiman, kita terkadang melewatkan fakta bahwa cuaca ekstrem semakin rutin, dan menyebabkan gangguan sosial yang jga makin besar,” kata dia.
Wabah COVID-19 Kurangi Kemacetan di Asia Tenggara Jakarta, Indonesia
Indonesia, negara terbesar di Asia Tenggara, dan negara dengan populasi terpadat keempat di dunia memberlakukan lebih sedikit pembatasan dibandingkan dengan negara tetangga. Jakarta, pusat wabah corona di Indonesia, tetapkan keadaan darurat pada 20 Maret, dengan menutup sekolah dan mendorong karyawan untuk bekerja dari rumah. Meski begitu, lalu lintasnya tetap lebih sibuk daripada kota-kota lain.
Wabah COVID-19 Kurangi Kemacetan di Asia Tenggara Manila, Filipina
Di Manila, sekitar 3,5 juta kendaaraan diperkirakan tidak beroperasi sejak karantina ketat yang diberlakukan pada pertengahan Maret lalu. Hal ini membuat jalanan tampak lengang. Reuters melaporkan bahwa untuk menempuh perjalanan sepanjang 23,8 km di tengah pemberlakuan lockdown, hanya dibutuhkan waktu 20 menit saja. Waktu normal biasanya ditempuh lebih dari dua jam.
Wabah COVID-19 Kurangi Kemacetan di Asia Tenggara Ho Chi Minh City, Vietnam
Lalu lintas di Ho Chi Minh City biasanya sangat padat, apalagi di malam hari. Namun, selama pemberlakuan lockdown, tidak ada kemacetan yang terlihat sama sekali. Vietnam telah melonggarkan pembatasannya lebih awal dari kebanyakan negara lain, sehingga kondisi kemacetan di jalanan perlahan kembali. Negara berpenduduk 96 juta orang ini telah menunjukkan bahwa mereka berhasil mengendalikan virus.
Wabah COVID-19 Kurangi Kemacetan di Asia Tenggara Kuala Lumpur, Malaysia
Malaysia memberlakukan lockdown sebagian pada 18 maret karena kasus infeksi yang melonjak drastis. Kini, pembatasan dikurangi dengan mengizinkan bisnis untuk kembali beroperasi. Kuala Lumpur dikenal dengan kemacetan lalu lintasnya pada jam-jam sibuk, dengan rata-rata setengah juta kendaraan beroperasi di jalan setiap harinya. Saat ini, lalu lintas kembali meningkat karena pembatasan dilonggarkan.
Wabah COVID-19 Kurangi Kemacetan di Asia Tenggara Singapura
Penurunan lalu lintas di Singapura, yang secara ketat mengontrol jumlah kendaraanya, kurang terlihat. Sejak perbatasan ditutup pada Maret, kemacetan di dekat jalan lintas utara yang menghubungkan pulau itu dengan Malaysia jauh berkurang. Kemacetan di Bandara Changi, pusat transit internasional utama, juga berkurang. “Pemutus sirkulasi” akan terus berlaku hingga 1 Juni mendatang. (gtp/hp) (reuters)
Nestapa berkepanjangan
Saat ini pemerintah di New Delhi mulai melonggarkan aturan lockdown. Namun pembatasan sosial turut menambah nestapa warga yang dilanda gelombang panas. Di Delhi yang berpenduduk 20 juta misalnya, kebutuhan air mencapai 760 juta liter per hari.
Antrian air di ibu kota dilaporkan semakin parah sejak pandemi Covid-19 melanda. Kini warga miskin harus antri menunggu pembagian air berjam-jam sambil membawa ember dan botol plastik. Pembatasan sosial adalah kekhawatiran terakhir mereka, ketika kedatangan truk tangki dari pemerintah saja tidak bisa dipastikan.
"Karena masalah air, kami tidak bisa menaati aturan pembatasan jarak sosial. Orang-orang berdempetan ketika berebutan untuk mengisi ember mereka,” pungkas Gopalakrishnan.
rzn/as (AP)