Kisah ini menjadi viral setelah beredar di media sosial, termasuk Instagram @awreceh.id. Komentar-komentar pedas mengalir deras, mencerminkan kekecewaan publik terhadap fenomena "parkir raja" ini. Satu komentar yang mengundang tawa getir berbunyi: "Pertamax aja kalah!"
Dilema Wisata Kekinian
Fenomena ini menyulut diskusi hangat soal bagaimana seharusnya wisata dikelola di Indonesia. Di satu sisi, kebutuhan akan pemasukan memang tak bisa dihindari. Biaya perawatan, pengelolaan, dan pengembangan destinasi wisata jelas butuh dana besar.
Tapi di sisi lain, menetapkan tarif tinggi tanpa diimbangi dengan jaminan kenyamanan dan keamanan hanya akan membuat wisatawan kabur.
Bukankah lebih bijak jika pengelola menetapkan harga yang masuk akal, namun memberikan pelayanan terbaik? Pengunjung rela membayar lebih asalkan merasa puas dan aman selama berwisata. Namun jika yang ditawarkan justru pengalaman kurang menyenangkan, maka bisa jadi sekali datang, tak akan ingin kembali.
Daripada mengambil untung besar dalam sekali waktu—tapi kehilangan potensi kunjungan jangka panjang—lebih baik bangun reputasi lewat pelayanan yang tulus dan profesional. Ingat pepatah: jangan sampai "sekali dayung, dua tiga pulau tenggelam" malah berubah jadi “sekali tarik tarif, semua wisatawan minggat.”
Wisata bukan sekadar jual pemandangan, tapi juga soal rasa, pengalaman, dan kesan yang dibawa pulang.
Pelajaran berharga dari kasus ini: diperlukan keseimbangan antara profit dan kepuasan pengunjung. Destinasi wisata bukan hanya soal mengumpulkan pundi-pundi, tapi juga membangun kepercayaan dan loyalitas wisatawan. Semoga ini menjadi cambuk bagi para pengelola wisata untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan berkelanjutan.
Bagaimana menurut Anda tentang fenomena tarif parkir yang lebih mahal dari Pertamax ini?
Baca Juga: Aji Mumpung, Viral Jukir Minimarket 'Getok' Tarif Parkir Motor Rp15 Ribu