Suara.com - Mudik, sebuah tradisi yang selalu dinanti. Momen di mana jutaan perantau kembali ke kampung halaman, membawa rindu yang tak terbendung. Terbayang pelukan orang tua, suara riuh saudara, dan tentu saja, aroma masakan rumah yang menggugah selera. Semua itu membuat perjalanan panjang terasa begitu berarti.
Namun, ada satu tantangan yang sering menghadang di tengah perjalanan: hujan deras. Tak jarang, hujan datang tanpa aba-aba, menghambat laju kendaraan, mengaburkan pandangan, dan membuat jalanan licin.
Jika tidak diantisipasi, perjalanan yang penuh semangat bisa berubah menjadi ujian kesabaran.
Saat tetesan air mulai mengguyur kaca mobil, refleks pertama banyak pemudik adalah "klik!" - menyalakan lampu hazard. "Biar aman," pikir mereka. Tapi tahukah Anda? Kebiasaan yang tampak sepele ini bisa jadi bumerang yang membahayakan nyawa.
Bayangkan Anda sedang berkendara di tengah hujan deras. Pandangan terbatas, jalanan licin, dan tiba-tiba, di depan ada mobil dengan lampu hazard berkedip terus-menerus.
Anda berpikir mobil itu berhenti atau mengalami masalah. Tapi tiba-tiba—tanpa peringatan—mobil tersebut berbelok! Anda kaget, refleks mengerem mendadak, dan nyaris kehilangan kendali.
Inilah salah satu bahaya penggunaan lampu hazard yang tidak tepat. Banyak pengemudi mengira hazard harus dinyalakan saat hujan deras, padahal justru bisa membahayakan pengguna jalan lain.
Lalu, kapan sebaiknya hazard digunakan?

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 121 menjelaskan bahwa lampu hazard adalah isyarat peringatan bahaya yang hanya boleh digunakan dalam situasi darurat.
Baca Juga: Bima Arya Pastikan Wali Kota Depok Akan Ditegur, Imbas Izinkan ASN Mudik Pakai Mobil Dinas
Kapan boleh menyalakannya? Lampu hazard seharusnya hanya dinyalakan saat kendaraan berhenti atau parkir dalam keadaan darurat, seperti mogok di jalan, ban kempis, atau situasi lain yang memerlukan perhatian ekstra dari pengguna jalan lain.