Suara.com - Dalam dunia penerbangan, keselamatan adalah harga mati yang tak bisa ditawar. Setiap komponen, dari mesin hingga bahan bakar, harus memenuhi standar ketat untuk menjamin keselamatan ribuan nyawa di udara.
Namun, sebuah insiden mengejutkan pada tahun 2010 nyaris menulis sejarah kelam dalam industri penerbangan Indonesia ketika terungkap bahwa avtur Pertamina yang terkontaminasi air hampir menyebabkan tragedi penerbangan Cathay Pacific.
Kasus ini kembali mencuat ke permukaan seiring viralnya insiden kontaminasi Pertamax yang menyebabkan mogoknya mobil Honda HR-V beberapa waktu lalu.
Melalui platform media sosial X, akun @arifmuharram mengungkap kisah mencekam penerbangan Cathay Pacific CX780 rute Surabaya-Hong Kong yang nyaris berakhir tragis akibat avtur yang terkontaminasi air.
Penerbangan yang semula normal berubah menjadi situasi genting ketika kedua mesin pesawat mengalami gangguan serius saat mendekati landasan.
Para pilot menghadapi situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya: mesin pesawat tidak dapat menurunkan kecepatannya.
Bayangkan sebuah pesawat komersial yang membawa ratusan penumpang terpaksa mendarat dengan kecepatan mencapai 230 knot, jauh di atas kecepatan pendaratan normal.
Dalam momen-momen kritis tersebut, keterampilan dan ketenangan pilot diuji hingga batas maksimal. Pesawat akhirnya berhasil mendarat, namun berhenti hanya 309 meter dari ujung landasan pacu yang berbatasan langsung dengan laut.
Dampak pendaratan darurat ini sangat serius: mesin nomor satu bergesekan dengan landasan pacu, ban pesawat kempes, dan thermal relief plug pada roda meleleh akibat pengereman dalam kecepatan tinggi.
Baca Juga: Legislator PDIP Desak Pertamina Beri Pertamax Gratis ke Masyarakat untuk Ganti Rugi

Investigasi yang dilakukan kemudian mengungkap fakta mengejutkan: avtur yang dipasok oleh Pertamina terkontaminasi air.
Ini bukan masalah sepele mengingat avtur adalah komponen vital dalam penerbangan.
Kontaminasi sekecil apapun dapat menyebabkan gangguan serius pada mesin pesawat, terutama pada ketinggian jelajah yang membutuhkan performa optimal.
Insiden ini menimbulkan pertanyaan serius tentang sistem pengawasan kualitas bahan bakar di Indonesia.
Bagaimana mungkin kontaminasi seperti ini bisa lolos dari berbagai lapisan pemeriksaan? Apakah ada kelemahan sistemik dalam proses quality control?
Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi semakin relevan mengingat kasus serupa kembali terulang dengan Pertamax belum lama ini.
Respons publik terhadap pengungkapan ini sangat keras.
Media sosial dipenuhi komentar netizen yang mengekspresikan kemarahan dan keprihatinan.
Banyak yang menyoroti bagaimana insiden ini bisa berakibat fatal dan mengorbankan ratusan nyawa. Beberapa netizen bahkan menyerukan tuntutan hukum dan reformasi menyeluruh dalam sistem pengawasan bahan bakar.
![Aviation Fuel Terminal (AFT) Adi Soemarmo berhasil melayani kebutuhan Avtur, bahan bakar pesawat udara. [Dok Pertamina]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/07/23/26106-pelayanan-avtur-di-adi-soemarmo.jpg)
Kasus ini menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam industri strategis seperti energi dan transportasi.
Pertamina, sebagai BUMN yang mengemban tugas vital dalam penyediaan bahan bakar, perlu mengevaluasi dan memperkuat sistem quality control-nya. Ini bukan hanya tentang reputasi perusahaan, tetapi lebih penting lagi tentang keselamatan publik.
Lebih jauh lagi, insiden ini menunjukkan betapa pentingnya sistem pengawasan independen dan audit berkala terhadap fasilitas penyimpanan dan distribusi bahan bakar.
Standar internasional untuk bahan bakar penerbangan sangat ketat karena alasan yang jelas: tidak ada ruang untuk kesalahan di udara.
Pelajaran berharga dari insiden ini adalah bahwa keselamatan publik harus selalu menjadi prioritas utama.
Sistem dan prosedur yang ada perlu terus dievaluasi dan ditingkatkan untuk mencegah terulangnya insiden serupa. Transparansi dalam penanganan masalah dan keterbukaan dalam melakukan perbaikan sistem juga crucial untuk mengembalikan kepercayaan publik.

Industri penerbangan adalah sektor yang tidak mentolerir kesalahan sekecil apapun. Setiap komponen, dari mesin hingga bahan bakar, harus memenuhi standar tertinggi karena menyangkut keselamatan ribuan nyawa.
Insiden avtur Pertamina ini harus menjadi momentum untuk perubahan sistemik dalam pengawasan kualitas bahan bakar di Indonesia.
Ke depan, diperlukan kolaborasi yang lebih erat antara regulator, operator penerbangan, dan penyedia bahan bakar untuk memastikan standar keselamatan tertinggi.
Sistem deteksi dini kontaminasi bahan bakar, prosedur penanganan yang lebih ketat, dan audit berkala yang komprehensif adalah beberapa langkah yang bisa diambil untuk mencegah terulangnya insiden serupa.
Insiden ini juga mengingatkan kita bahwa dalam era digital, tidak ada lagi ruang untuk menutupi kesalahan.
Transparansi dan akuntabilitas menjadi tuntutan publik yang tidak bisa dihindari. Setiap insiden yang melibatkan keselamatan publik akan cepat tersebar dan mendapat sorotan luas.