Ini bukan masalah sepele mengingat avtur adalah komponen vital dalam penerbangan.
Kontaminasi sekecil apapun dapat menyebabkan gangguan serius pada mesin pesawat, terutama pada ketinggian jelajah yang membutuhkan performa optimal.
Insiden ini menimbulkan pertanyaan serius tentang sistem pengawasan kualitas bahan bakar di Indonesia.
Bagaimana mungkin kontaminasi seperti ini bisa lolos dari berbagai lapisan pemeriksaan? Apakah ada kelemahan sistemik dalam proses quality control?
Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi semakin relevan mengingat kasus serupa kembali terulang dengan Pertamax belum lama ini.
Respons publik terhadap pengungkapan ini sangat keras.
Media sosial dipenuhi komentar netizen yang mengekspresikan kemarahan dan keprihatinan.
Banyak yang menyoroti bagaimana insiden ini bisa berakibat fatal dan mengorbankan ratusan nyawa. Beberapa netizen bahkan menyerukan tuntutan hukum dan reformasi menyeluruh dalam sistem pengawasan bahan bakar.
![Aviation Fuel Terminal (AFT) Adi Soemarmo berhasil melayani kebutuhan Avtur, bahan bakar pesawat udara. [Dok Pertamina]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/07/23/26106-pelayanan-avtur-di-adi-soemarmo.jpg)
Kasus ini menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam industri strategis seperti energi dan transportasi.
Baca Juga: Legislator PDIP Desak Pertamina Beri Pertamax Gratis ke Masyarakat untuk Ganti Rugi
Pertamina, sebagai BUMN yang mengemban tugas vital dalam penyediaan bahan bakar, perlu mengevaluasi dan memperkuat sistem quality control-nya. Ini bukan hanya tentang reputasi perusahaan, tetapi lebih penting lagi tentang keselamatan publik.