Suara.com - Ahli Proses Konversi Biomassa Institut Teknologi Bandung (ITB) Ronny Purwadi mengungkap alasan kendaraan berbasis Energi Baru dan Terbarukan (EBT), utamanya bioetanol, dapat menjadi pilihan yang tepat untuk membantu mengurangi emisi.
“Supaya tidak menjadi panas, gas rumah kacanya harus dibatasi, maka penggunaan bahan bakar fosil ini harus dikurangi. untuk menjaga stabilitas kebutuhan bahan bakar maka harus ada energi baru yang siklusnya lebih cepat, yaitu EBT,” kata dia pada diskusi media di fasilitas manufaktur Toyota di Karawang, Jawa Barat, Kamis (5/9).
“EBT itu banyak tetapi penggunaan bahan bakar fosil paling banyak di sektor transportasi,” tambahnya.
Pemerintah Indonesia telah meluncurkan berbagai inisiatif untuk mengurangi konsumsi bahan bakar fosil, termasuk peningkatan penggunaan biodiesel.
Namun, biodiesel yang berbasis minyak sawit hanya salah satu solusi. Mengingat sebagian besar bahan bakar yang dibutuhkan adalah bensin, Rony mengatakan bioetanol menjadi pilihan yang semakin relevan.
“EBT sudah banyak ada geotermal, ada energi nuklir, ada energi surya, lalu kenapa harus biofuel? Bahwa kendaraan kita itu hampir seluruhnya menggunakan bensin. Kalau mau diganti dengan EV (kendaraan listrik) berarti kita harus buang semua mobil, kita ganti baru dengan EV,” ujar Rony.
Menggunakan bioetanol memiliki berbagai manfaat, termasuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan mendukung ketahanan energi nasional.
Kelebihan bioetanol lainnya, yakni masih dapat digunakan pada kendaraan yang biasa menggunakan bensin.
Selain itu, bioetanol dapat memanfaatkan limbah organik dan mendorong perekonomian melalui penciptaan lapangan kerja baru.
Baca Juga: Apa Itu Bahan Bakar Fleksibel? Diterapkan Pada Toyota Fortuner dan Innova Zenix Hybrid
Dengan pengembangan teknologi bioetanol yang terus berlanjut, diharapkan bioetanol dapat menjadi solusi yang lebih luas dan efektif dalam mengatasi tantangan energi dan perubahan iklim di Indonesia.