Suara.com - Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai rencana pemberian insentif untuk mobil hybrid atau hybrid electric vehicle (HEV) berpotensi menghambat kemajuan ekosistem mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) di Indonesia.
Pemerintah memang sedang mempertimbangkan untuk memberikan insentif untuk mobil hybrid. Sementara beberapa produsen mobil hybrid di Indonesia juga terus mendesak pemerintah untuk memberikan fasilitas yang kini hanya dinikmati oleh mobil listrik di Indonesia.
“Tren penjualan mobil hybrid tentu akan meningkat ketika insentif diberlakukan, sehingga bisa mendistorsi pangsa pasar mobil listrik di Tanah Air. Namun, rencana kebijakan insentif untuk HEV berpotensi menghambat kemajuan ekosistem BEV di Indonesia, ” beber Tauhid.
Indonesia sudah memiliki pabrik perakitan kendaraan listrik yang akan didukung oleh pabrik baterai kendaraan listrik, sehingga memungkinkan BEV untuk terus berkembang berkat kemajuan dalam teknologi dan baterai.
Baca Juga: AHM Belum Tertarik Pasarkan Motor Hybrid di Indonesia
Infrastruktur yang lengkap ini dapat membantu memajukan industri komponen dalam negeri yang dapat menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Seiring munculnya BEV sebagai kemajuan teknologi dalam industri otomotif, tren global secara kuat mendukung perkembangannya.
Laporan Reuters memperkirakan total pengeluaran oleh produsen mobil global akan mencapai 1.2 triliun dolar Amerika Serikat (atau sekitar Rp 19 kuadriliun) pada EV, baterai, dan material-materialnya pada tahun 2030.
Sementara itu, dibandingkan dengan HEV yang sudah berada pada tahap teknologi yang matang, mungkin BEV tidak menarik investasi yang signifikan ke industri otomotif Indonesia.
Rencana memberikan insentif untuk HEV juga dapat mengganggu potensi investasi dalam pengembangan ekosistem BEV di Indonesia. Beberapa jenama kendaraan telah melirik Indonesia sebagai pasar yang vital, termasuk dalam melaksanakan kegiatan produksi.
Rencana kebijakan insentif untuk HEV ini dapat menjadi hambatan bagi investasi berkelanjutan dari jenama-jenama yang telah membangun ekosistem BEV di Indonesia, dan dikhawatirkan dapat mengganggu keberlanjutan ekosistem BEV di masa depan.
Investasi besar akan diperlukan untuk mendirikan fasilitas manufaktur baterai baru dan mengembangkan komponen elektronik untuk BEV.
Baca Juga: Mobil Lubricants Memperkenalkan Pelumas yang Cocok untuk Kendaran Hybrid
Selain itu, BEV memiliki potensi yang lebih besar dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GHG) dibandingkan HEV.
Studi oleh International Council on Clean Transportation (ICCT) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa BEV mampu mengurangi siklus hidup GHG sebesar 47 persen dibandingkan dengan kendaraan berbahan bakar fosil, sementara HEV hanya mampu mengurangi 26 persen.
Oleh karena itu, fokus pada BEV akan lebih efektif dalam mencapai tujuan netralitas karbon dan mendukung inovasi teknologi energi terbarukan di sektor otomotif.
“Dengan mempertimbangkan semua faktor ini, penting bagi pemerintah Indonesia untuk menyeimbangkan kebijakan insentifnya agar tidak menghambat kemajuan ekosistem BEV yang sudah mulai berkembang,” kata Ahmad.
“Langkah strategis ini akan memastikan bahwa Indonesia tetap berada di jalur yang benar menuju masa depan otomotif yang berkelanjutan dan inovatif,” tutupnya.