Suara.com - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun depan memicu kekhawatiran di industri otomotif, termasuk di ranah produksi mobil.
Wakil Presiden PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Bob Azam, mengungkapkan bahwa kebijakan ini dapat memberatkan industri dan menghambat lokalisasi.
Dikutip dari situs resmi Gaikindo, Bob Azam pada akhir April silam menjelaskan bahwa lokalisasi industri otomotif di Indonesia merupakan proses kompleks yang melibatkan banyak faktor, termasuk PPN.
Kenaikan PPN menjadi 12 persen akan berdampak pada setiap tahap produksi, mulai dari bahan baku hingga komponen akhir.
"Misalnya, bahan baku diolah menjadi barang setengah jadi, lalu dikenakan PPN. Barang setengah jadi menjadi subkomponen, kena PPN lagi. Subkomponen menjadi komponen, kena PPN lagi. Semakin banyak PPN yang dikenakan, semakin mahal pula biaya produksi," jelas Bob.
![UMKK didorong untuk masuk ke rantai pasok industri otomotif. Foto: ilustrasi pabrik mobil. [Antara]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/08/16/43480-pabrik-mobil.jpg)
Dilema Impor vs Lokalisasi
Kondisi ini memicu dilema bagi industri otomotif. Di satu sisi, industri ingin meningkatkan lokalisasi untuk mendukung perekonomian nasional. Di sisi lain, kenaikan PPN membuat penggunaan komponen impor yang sudah jadi jauh lebih menarik secara ekonomis.
"Semakin dalam industri kita, semakin banyak PPN yang dikenakan. Lebih menguntungkan untuk impor komponen jadi yang hanya dikenakan PPN sekali," ujar Bob.
Bob berharap pemerintah dan pemangku kebijakan dapat menyiapkan langkah-langkah mitigasi untuk meredam dampak negatif dari kenaikan PPN. Skema PPN yang baru haruslah memberikan manfaat bagi industri, bukan sebaliknya.
"Pemerintah perlu mengusahakan mitigasi agar PPN tidak dikenakan berjenjang. Di negara tetangga, PPN umumnya hanya 7-9 persen. Jika daya saing kita tidak dijaga, industri otomotif Indonesia akan tergerus," tegas Bob.