Di Tengah Perlambatan Penjualan Kendaraan Listrik Murni, Toyota Buktikan Mobil Hybrid Stabil

Minggu, 11 Februari 2024 | 09:05 WIB
Di Tengah Perlambatan Penjualan Kendaraan Listrik Murni, Toyota Buktikan Mobil Hybrid Stabil
Toyota Prius [Shutterstock].
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Toyota Prius yang menjadi andalan Toyota untuk mobil ramah lingkungan kategori hybrid--memiliki dua penggerak, mesin listrik dan penopang mesin konvensional--pertama kali diluncurkan pada 1997. Produk ini menjadi salah satu mobil hybrid paling populer dan penjualan secara global tembus lima juta unit.

Dikutip dari salah satu media terkemuka Inggris, The Telegraph, Toyota sudah cukup lama berusaha meyakinkan pandangan bahwa hybrid atau hibrida adalah sebuah kategori atau spesifikasi ideal yang berada di antara produk konvensional (Internal Combustion Engine atau ICE) dan kendaraan listrik murni (Electric Vehicle atau EV).

Akio Toyota, President and CEO Toyota Motor Corporation menyatakan bahwa perusahaan yang dipimpinnya melayani banyak pasar di seluruh dunia, yang memiliki konsumen dengan kondisi belum sampai di pasar elektrifikasi secepat yang diadaptasi negara-negara Barat mau pun Jepang sendiri. Sehingga produk yang dihasilkan Toyota bukan kategori listrik murni.

Presiden dan CEO Toyota Akio Toyoda saat presentasi prototipe "kota" masa depan di atas lahan seluas 175 hektar di kaki Gunung Fuji di Jepang, dan purwarupa Toyota e-Palette di pameran Consumer Electronics Show (CES) 2020 di Las Vegas , Nevada, Amerika Serikat (6/1/2020) [AFP/Robyn Beck].
Presiden dan CEO Toyota Akio Toyoda saat presentasi prototipe "kota" masa depan di atas lahan seluas 175 hektar di kaki Gunung Fuji di Jepang, dan purwarupa Toyota e-Palette di pameran Consumer Electronics Show (CES) 2020 di Las Vegas , Nevada, Amerika Serikat (6/1/2020) [AFP/Robyn Beck].

"Satu miliar orang diantara seluruh penduduk dunia masih tinggal di wilayah tanpa listrik, jadi bila kami pasarkan atau sediakan EV saja maka tidak bisa melayani kebutuhan transportasi bagi semua konsumen," papar Akio Toyoda.

Baca Juga: Intip Koleksi Mobil Mewah Lewis Hamilton: Memang Dari Dulu Dominan Ferrari?

Meski pun telah menjelaskan kondisi realitas pasar Toyota di dunia, mulai belum tersedianya infrastruktur lengkap untuk charging baterai sampai area tanpa listrik, para pengkritiknya termasuk Greenpeace melayangkan keberatan: hybrid tidak mampu menurunkan emisi secara global dengan cukup cepat untuk menghentikan bencana perubahan iklim.

Dengan terharu Akio Toyota sebagai produsen mobil terbesar di dunia menggambarkan bagaimana ia serasa “dipukul” para kritikus karena ia menolak mempertaruhkan seluruh perusahaannya untuk beralih memproduksi EV murni. Toyota tetap pada sikapnya, yaitu menjadi produsen yang gigih memperjuangkan pendekatan multi-jalur menuju era masa depan yang ramah lingkungan, lewat produk hybrid dan tenaga hidrogen.

Kini kondisi berbalik. Di tengah terjadinya perlambatan penjualan mobil EV dengan tenaga listrik murni akibat harga tinggi, Toyota Prius hatchback yang ramah lingkungan terus berjaya penjualannya. Suatu hal yang membuat kompetitor penyedia mobil listrik murni terhenyak.

Di pasar Barat, mobil hybrid sering kali dijual dengan harga beberapa ribu dolar lebih mahal dibandingkan mobil berbahan bakar bensin. Akan tetapi di Tiongkok tren ini telah terbalik. Beberapa raksasa otomotif menjual mobil listrik dan hybrid dengan harga 20 persen lebih murah dibandingkan mobil konvensional atau ICE.

Toyota Prius PHEV di GIIAS 2021 [Suara.com/CNR ukirsari].
Toyota Prius PHEV di GIIAS 2021 [Suara.com/CNR ukirsari].

Yoichi Miyazaki, wakil presiden eksekutif di Toyota, mengatakan kendaraan hibrida bahkan mendapat penjualan yang tinggi di Tiongkok – pasar dan produsen kendaraan listrik terbesar di dunia.

Baca Juga: Gaji di Tim F1 Scuderia Ferrari Bukan Motivasi Utama, Ini Daftar Kekayaan Lewis Hamilton

“Sebagai solusi realistis, kendaraan hybrid masih disukai pelanggan kami,” paparnya,

Setelah terjadi perlambatan penjualan kendaraan listrik, Toyota berada di posisi terdepan dengan memanfaatkan lonjakan permintaan kendaraan hybrid.

Untuk 2023, perusahaan berlogo tiga ellips itu menjual 10,3 juta unit mobil hybrid, meningkat 7,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Totalnya mencakup gabungan 3,5 juta kendaraan hybrid (Hybrid Electric Vehicle atau HEV) dan hybrid plug-in (Plug-in Hybrid Electric Vehicle atau PHEV), sebuah peningkatan year-on-year (yoy) sebesar 32 persen. Sedangkan mobil listrik murni (Battery Electric Vehicle atau BEV) hanya laku 104.000 unit.

Dalam penjualan hingga akhir Maret 2024, Toyota memperkirakan keuntungan sebesar 4,5 triliun yen atau sekira 24 miliar Poudsterling Britania Raya (GBP), atau mengalami kenaikan dari sebelumnya 2,5 triliun yen.

"Meski pun kendaraan listrik murni bertenaga baterai memimpin transisi, data penjualan menunjukkan bahwa konsumen semakin menuntut berbagai jenis kendaraan hybrid yang menggunakan bahan bakar fosil sebagai cadangan,” ungkap Ernan Cui, analis di Gavekal Dragonomics, mengatakan kepada The Nikkei di Jepang.

"Terlebih lagi, keunggulan hybrid Toyota saat ini tidak mudah ditiru. Dibutuhkan antara lima dan tujuh tahun untuk mengembangkan mobil baru," tambah Andrew Bergbaum dari AlixPartner.

"Awalnya memang sangat sulit untuk berjuang sendirian,” jelas Akio Toyoda tentang ketetapan perusahaannya untuk terus menghadirkan produk hybrid.

"Toyota memandang karbon sebagai musuh, sehingga kami menghadirkan berbagai solusi untuk mengurangi karbon. Berupa kombinasi kendaraan listrik tenaga baterai (BEV), plug-in hybrid, bahan bakar sel listrik, serta hybrid. Tujuannya pelanggan dapat memilih paling sesuai dengan kebutuhan mereka yang mempertimbangkan ketersediaan energi terbarukan, infrastruktur, kebijakan pemerintah, dan harga," demikian ditambahkan juru bicara Toyota.

Para kompetitor Toyota yang terjun lebih awal di sektor produksi mobil listrik atau EV seperti Ford, Volkswagen, dan General Motors termasuk di antara yang mengerem atau mengurangi produksinya.

Kendalanya terjadi setelah berhasil menyasar pengguna awal, mereka mendapati pasar massal jauh lebih sulit untuk ditembus. Apalagi sampai kini banyak konsumen yang masih ragu dengan harga tinggi dan kekhawatiran mengenai infrastruktur pengisian ulang baterai atau recharging station.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI