Suara.com - Pengajar dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agus Purwadi menyatakan bahwa konversi dari kendaraan konvensional ke kendaraan elektrik merupakan sebuah jembatan yang tepat untuk memulai era elektrifikasi di Indonesia.
Dikutip dari kantor berita Antara, peran kesadaran masyarakat dalam menumbuhkan ekosistem kendaraan ramah emisi di Indonesia, juga sangat penting untuk mempercepat ekosistem kendaraan elektrik itu sendiri.
Selain itu, dukungan pemerintah juga sangat penting dengan mengucurkan berbagai insentif pendukung untuk menyemangati masyarakat yang hendak bermigrasi ke ranah elektrik.
Senada pandangan pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung, Yannes Martinus Pasaribu. Akademisi ini menyebutkan konversi kendaraan mesin bakar konvensional atau ICE ke kendaraan elektrik merupakan salah satu cara untuk percepatan menuju ekosistem kendaraan zero karbon di Indonesia.
Baca Juga: Sulawesi Tenggara Ditargetkan Masuk Ekosistem Baterai EV, Jadi Bagian Hilirasi Nikel
Pemerintah harus dengan jelas dan tegas dalam memberikan kepastian besaran insentif bagi mereka yang mau merelakan kendaraan mereka dimodifikasi ke kendaraan elektrik untuk memberikan apresiasi kepada masyarakat.
Memang, permasalahan dari kendaraan listrik itu terletak pada menu utama dari kendaraan itu sendiri yakni baterai yang harganya masih sangat tinggi. Peran pemerintah untuk mengikis harga yang lebih terjangkau sangat memiliki peran penting.
Menurut Yannes Martinus Pasaribu, Pemerintah harus terus menggenjot program ini hingga populasi penjualan kendaraan listrik mencapai 30 persen dari populasi. Selepas itu, tentunya insentif ini dapat dikurangi secara berangsur-angsur, karena pasar akan bergerak secara otomatis ke arah tersebut, dengan atau tanpa subsidi.
Di sisi lain, sambutan dari berbagai kalangan masyarakat terhadap kendaraan elektrik sangat positif. Hingga saat ini, pencapaian eksistensi kendaraan listrik sudah melebihi penjualan kendaraan jenis sedan dengan meraih pasar sebesar 1,6 persen dari yang sebelumnya hanya 0,4 persen.
Tidak dipungkiri, eksistensi kendaraan listrik akan terus berlanjut di tahun-tahun berikutnya. Hal itu dikarenakan karakter manusia yang selalu ingin tampil beda dan menjadi selalu yang pertama.
Hal itu juga terjadi pada tren kepemilikan kendaraan baik itu konvensional maupun yang terbaru. Kendaraan listrik sebagai bentuk pengakuan dari lingkungan yang memang terjadi di hampir dalam diri manusia.
Yannes Martinus Pasaribu juga menambahkan bahwa pasar Indonesia memiliki karakter unik.
Dalam soal kendaraan listrik, masyarakat sangat dipengaruhi oleh aspek emosi terkait dengan fenomena makna simbolik, identitas, dan emosi yang dikenal dengan istilah fear of missing out (FoMO) pada mereka yang sangat terlibat dengan media sosial.
Meski begitu, tidak sedikit dari mereka yang benar-benar peduli dengan kondisi lingkungan sehingga mereka memutuskan untuk bermigrasi ke ranah elektrik.