Suara.com - Dalam Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT G20 Bali digunakan saraan transportasi darat 6.000 unit kendaraan listrik atau Electric Vehicle (EV). Seluruhnya membutuhkan pengisian ulang baterai di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU). Paling tidak durasi 30-60 menit agar terisi penuh.
Dikutip dari kantor berita Antara, Balai Besar Survei dan Pengujian Ketenagalistrikan, Energi Baru Terbarukan, dan Konservasi Energi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut hadirnya ribuan kendaraan listrik di G20 Bali sebagai wujud keseriusan pemerintah mewujudkan ekosistem kendaraan listrik di Tanah Air.
Program konversi dari BBM fosil ke listrik menyasar kepada sepeda motor. Sebabnya populasi kendaraan roda dua cukup besar sampai ke pelosok-pelosok. Juga banyak digunakan sebagai transportasi di segala lapisan masyarakat.
Alasan mendesaknya konversi energi dari fosil menjadi listrik karena dua tahun lalu neraca perdagangan Indonesia sempat kebobolan akibat impor minyak terlalu banyak, padahal energi di dalam negeri mencukupi.
Dengan populasi 130 juta sepeda motor, artinya per hari membutuhkan 800 ribu barel, sementara produksi 800 barel. Jadi kebutuhan per hari itu 1,6 juta barel dan separuhnya dari sepeda motor.
Saat itu Pemerintah Indonesia melakukan konversi kendaraan sepeda motor berbasis BBM ke listrik. Apabila target ini tercapai, minimal bisa memangkas impor BBM.
Terkait konversi ke listrik, bila pada 2020 pemerintah baru bisa menyasar 10 unit motor listrik, maka 2021 sudah meningkat menjadi 100 unit, kemudian untuk 2022 targetnya bisa 1.000 unit.
Dengan konversi ke energi listrik tentunya akan menumbuhkan sektor bisnis baru, yakni bengkel yang khusus mengonversi sepeda motor berbahan bakar fosil menjadi listrik.
Terkait hal itu pemerintah sudah memberikan edukasi ke sejumlah bengkel sepeda motor sehingga mereka siap. Sehingga target pemerintah pada 2030 bisa menjangkau 13 juta kendaraan motor listrik.
Baca Juga: PT Isra Presisi Indonesia, Pemasok Komponen Grup Astra Gelar IPO
Pada tahun ini pemerintah berharap subsidi untuk BBM bisa dipangkas karena nilai subsidi tersebut sangat besar. Selain itu untuk mengurangi emisi dan untuk ketahanan energi nasional.
Energi harus berkesinambungan dan bisa lebih murah. Jadi untuk regulasi EV juga tidak bisa tiba-tiba, namun harus berkesinambungan dengan regulasi lainnya.
Energi listrik harus bersinergi dengan energi baru terbarukan (EBT), sehingga peta jalan konversi dan transisi energi bisa tercapai dan bersinergi.
Patut diingat apabila tujuan pengembangan ekosistem EV bertujuan menciptakan energi ramah lingkungan, maka produksi baterai juga dipastikan ramah lingkungan. Sebagai contoh sumber energi tidak lagi dari pembangkit batu bara, tetapi berasal dari pembangkit ramah lingkungan, seperti PLTA.
Lantas yang dipikirkan adalah limbah dari baterai kelak, mengingat tergolong sebagai B3 yang tentunya membutuhkan ekosistem tersendiri untuk daur ulang.
Dengan demikian kalau bicara kebutuhan EV ini perjalanan masih sangat panjang. Dari bahan baku tambang hingga bahan baku untuk pembuatan baterai. Harus didukung investasi yang tidak sedikit. Tentu saja hal ini bisa menjadi tantangan bagi pelaku bisnis di Indonesia, dan menjadi pemain produk baterai.
Tak hanya itu energi ramah lingkungan lainnya juga terus membayangi konversi listrik, salah satunya dengan pemanfaatan hidrogen yang dalam uji coba terakhir juga sukses.