Pengamat Ekonomi: Subsidi BBM Agar Tepat Sasaran dan Cegah Risiko Moral

Senin, 05 September 2022 | 09:07 WIB
Pengamat Ekonomi: Subsidi BBM Agar Tepat Sasaran dan Cegah Risiko Moral
Seorang petugas SPBU di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat, tengah mengganti plang harga menyesuaikan kenaikan BBM bersubsidi, Sabtu (3/9/2022). [Suara.com/Yosea Arga Pramudita]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Situs Investopedia menyatakan bahwa angka defisit menunjukkan kesehatan keuangan suatu negara. Semakin besar angkanya, berarti semakin tinggi pula utang yang dimiliki.

Dikutip kantor berita Antara dari Rilis Survei Nasional LSI: "Kondisi Ekonomi dan Peta Politik Menjelang 2024" pada Minggu (4/9/2022), Aviliani, Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai soal subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Yaitu subsidi BBM akan lebih tepat diberikan kepada orang yang membutuhkan ketimbang kepada barang, untuk mencegah terjadinya moral hazard (risiko moral).

 LIVE: Konferensi Pers Presiden Jokowi dan Menteri Terkait perihal Pengalihan Subsidi BBM (YouTube/Sekretariat Negara)
Konferensi Pers Presiden Joko Widodo dan Menteri Terkait perihal Pengalihan Subsidi BBM (YouTube/Sekretariat Negara)

"Banyak yang menggunakan (BBM bersubsidi) karena tidak ada pembatasan siapa yang boleh, siapa yang beli, dan siapa yang tidak. Bapak Presiden Joko Widodo melihat ini layak untuk disesuaikan. Makanya, lebih bagus BLT diberikan lebih tepat atau langsung kepada orang," papar Aviliani.

Baca Juga: Pengamat: Antisipasi Kenaikan Harga BBM Pertamina Pakai Kendaraan dengan Energi Terbarukan


"Ketika subsidi BBM diberikan dan tidak ada batas dan penggunanya, pada akhirnya terjadilah moral hazard yang menyebabkan kelangkaan di mana-mana," tukasnya.

Adapun pilihan untuk menaikkan harga BBM dilakukan atas dasar masih banyak penggunaan BBM bersubsidi yang tidak tepat sasaran. Pemerintah menyebut sekitar 80 persen BBM bersubsidi digunakan oleh industri dan rumah tangga mampu.

Selain tidak adanya pengawasan dari pemerintah, Pertamina sendiri pun tidak bisa mengawasi konsumsi BBM bersubsidi. Hal itulah yang kemudian menyebabkan jatah BBM bersubsidi yang awalnya hanya 23 juta kiloliter membengkak menjadi 29 juta kilo liter dan membebani anggaran negara.

"Maka sebaiknya subsidi memang ditujukan kepada orang, karena artinya di pasar jauh lebih sama harganya. Seperti sekarang, sejak kenaikan 3 September 2022, harga di SPBU tidak ada bedanya sehingga orang tidak antre di salah satu SPBU saja yang ada subsidinya karena disparitasnya makin kecil," lanjut Aviliani.

Baca Juga: Berhati Mulia, Valentino Rossi Lelang Skuter Mini Rp 252 Juta untuk Badan Amal Anak

Ia menambahkan, kebijakan memberikan subsidi ke barang tidak boleh lagi dilakukan di masa mendatang.

PT Pertamina Patra Niaga membuka gerai posko pendaftaran bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi melalui program subsidi tepat sasaran untuk kendaraan roda empat di SPBU Diponegoro, Kota Palu, Sulawesi Tengah Sabtu (30/7/2022). Antara/ Kristina Natalia.
PT Pertamina Patra Niaga membuka gerai posko pendaftaran bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi melalui program subsidi tepat sasaran untuk kendaraan roda empat di SPBU Diponegoro, Kota Palu, Sulawesi Tengah Sabtu (30/7/2022) [Antara/ Kristina Natalia].

"Ini pengalaman yang menurut saya dari beberapa Presiden, pengalaman sama dilakukan. Nah, ini tidak boleh dilakukan lagi, sebaiknya memang ke orang saja," tambah Aviliani.

Ia memberikan apresiasi terhadap langkah pemerintah yang telah lebih dulu memberikan BLT untuk pengalihan subsidi BBM sebelum mengumumkan kenaikan harga BBM.

"Pemerintah sudah benar kemarin, memberikan BLT dulu, baru kemudian harga naik. Oleh karena itu, perlu kecepatan dalam menyalurkan BLT agar masyarakat belum mengalami gap (selisih) kenaikan harga (akibat kenaikan BBM)," ujar Aviliani.

Ditambahkannya, ia memahami pilihan pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi untuk bisa menekan pembengkakan APBN. Ia menyebut pembengkakan APBN akan sangat berbahaya jika dibiarkan karena pemerintah nantinya harus menambah defisit anggaran.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI