Suara.com - Salah satu tantangan implementasi ekosistem kendaraan listrik di Indonesia adalah sumber energi yang masih menggunakan energi kotor, yaitu material batu bara. Pandangan ini disampaikan Darmaningtyas, salah satu pengamat transportasi ternama Indonesia.
"Bahan bakar listrik yang 63 persen masih dari batu bara juga membuat electric vehicle (EV) tidak sepenuhnya bersih lingkungan, hanya pengalihan atau penundaan polusi saja mengingat batu bara juga melahirkan limbah," demikian papar Darmaningtyas sebagaimana dikutip Suara.com dari kantor berita Antara pada Minggu (14/8/2022).
Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) ini menyatakan pihaknya mendukung penuh ekosistem kendaraan listrik di Tanah Air apabila bahan baku listrik bersumber dari energi baru terbarukan (EBT), misalnya dari pembangkit listrik tenaga mikrohidro.
Selain itu, harga kendaraan listrik saat ini juga dinilainya masih relatif tinggi untuk dijangkau masyarakat secara luas.
Baca Juga: Tampil di GIIAS 2022, Toyota bZ4X Siap Dipasarkan untuk Indonesia?
"Bila secara ekonomis menguntungkan, maka dengan sendirinya mereka akan beralih ke EV. Namun bila mereka belum beralih berarti belum menarik alias belum menguntungkan, baik sebagai bidang usaha produsen EV maupun sebagai konsumen," tandas Darmaningtyas.
Sementara itu, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) juga menyampaikan sejumlah tantangan kendaraan listrik, salah satunya yaitu penyiapan sumber daya manusia atau SDM yang mumpuni di bidang otomotif berbasis listrik.
Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono menyebutkan diperlukan SDM yang mampu berkontribusi pada pencegahan kecelakaan maupun temuan yang dapat menimbulkan potensi bahaya di masa depan.
"Kita harus selalu bersiap siaga terhadap perubahan ataupun dinamika, baik peraturan, teknologi, material ataupun sistem baru di mana saat ini masih terus berkembang baik hasil penelitian atau adanya kasus-kasus baru yang mempengaruhi keselamatan, keandalan, keekonomian dan lainnya," jelas Soerjanto Tjahjono.
Adapun sejumlah potensi bahaya yang perlu diwaspadai misalnya area tegangan DC tinggi (600 volt) yang dapat berakibat fatal, adanya opening atau cracking (retak isolator kabel tegangan tinggi) yang disebabkan adanya antara lain fretting (gesekan), radius yang tajam, penuaan (aging), dan terkelupas.
Baca Juga: Terpikat Mobil Listrik? Silakan Jajal Terlebih Dahulu di GIIAS 2022, Begini Caranya
Kemudian, terjadinya short circuit akibat fibration kendaraan, benturan ataupun hal-hal lainnya, lingkungan tropis yang cenderung lembap, panas, berdebu sehingga dapat mengganggu fungsi-fungsi elektronik.
Soerjanto Tjahjono menegaskan bahwa kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (Battery Electric Vehicle atau BEV) untuk transportasi jalan harus benar-benar dipastikan memenuhi aspek keselamatan, keamanan, dan juga sehat.
"Hanya personel terlatih yang disarankan untuk menangani keadaan itu. Tim tanggap darurat harus selalu standby selama kendaraan listrik beroperasi agar selalu dilakukan evaluasi, khususnya mengenai bahaya, kesulitan, serta mitigasi dan perbaikan SOP yang ada," tukas Soerjanto Tjahjono.
Terkait pemenuhan energi bersih untuk kendaraan listrik, ia menambahkan harus ada yang menghitung total energi dan karbon dari saat batu bara ditambang dengan alat berat sampai dengan menghasilkan listrik sehingga dapat dijadikan bahan evaluasi.
"Itu semua harus dihitung dan dicatat, kami laporkan berapa status karbon Indonesia setelah menggunakan EV. Ini bagian yang juga penting dalam penerapan EV," tutup Soerjanto Tjahjono.