Suara.com - Dalam roadmap industri otomotif nasional, Kementerian Perindustrian atau Kemenperin telah menetapkan target 20 persen penggunaan kendaraan berbasis baterai listrik pada 2025.
Teknologi fuel cell berbasis hidrogen untuk produksi industri kendaraan ramah lingkungan juga termasuk di dalamnya.
Dikutip kantor berita Antara dari rilis tertulis Kementerian Perindustrian, hidrogen adalah sumber energi alternatif untuk bahan bakar yang bisa diterapkan bagi sektor industri, transportasi, pembangkit listrik, tenaga portabel, dan sektor lainnya.
Pemerintah melalui Kemenperin mulai menginisiasi penerapan pemanfaatan hidrogen di Indonesia. Baik sebagai sumber tenaga pembangkit listrik maupun bahan bakar untuk moda transportasi darat, udara, dan laut.
Hidrogen sebagai pengganti energi fosil saat ini masih dikembangkan di sektor pembangkit listrik. Teknologi yang digunakan adalah hybrid, kombinasi hidrogen dan gas alam (grey hydrogen), yang masih menghasilkan emisi karbon.
"Kami berharap untuk dapat memasukkan hidrogen biru pada tahap berikutnya," jelas Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.
Sejalan dengan fokus Pertemuan Tahunan World Economic Forum 2022 mengenai EBT, Menperin melakukan pertemuan dengan APUS Group, yang memiliki inisiatif APUS Zero Emission.
Sebagai agensi desain European Aviation Safety Agency (EASA), APUS Group meneliti bagaimana hidrogen dapat digunakan secara aman dan ekonomis.
Baca Juga: Renault Pertimbangkan Bangun Divisi Mobil Listrik Sendiri
"Hasil penelitian dan pengalaman dari berbagai proyek dan kerja sama diterapkan dalam produk APUS i-2 dan APUS i-5 untuk membangun pesawat hybrid-listrik sel bahan bakar hidrogen dengan kinerja yang sangat baik," papar Menperin.
Pekan lalu (29/5/2022), dalam rangkaian kunjungan kerja di Eropa, yakni saat melakukan pertemuan dengan dua perusahaan industri di Jerman, Menperin menyatakan membuka peluang pengembangan industri hilirisasi serta energi baru terbarukan (EBT) Indonesia dengan perusahaan Jerman.
"Hilirisasi mampu meningkatkan nilai tambah komoditas kelapa sawit. Kami melihat teknologi yang digunakan Ecogreen Oleochemical dapat mendukung hilirisasi industri di Indonesia. Karenanya kami berdialog dengan Ecogreen Oleochemical untuk membuka peluang tersebut," papar Agus Gumiwang Kartasasmita.
Kunjungan pertama yang dilakukan ke Ecogreen Oleochemicals, industri produsen fatty acid dan produk-produk lain hasil hilirisasi kelapa sawit.
Produk-produk yang dihasilkan melalui teknologi mutakhir dari perusahaan ini digunakan oleh industri lain sebagai bahan baku untuk produk deterjen, komponen perawatan kulit dan kosmetik, bahan kimia pertanian, industri tekstil, industri percetakan, industri makanan, dan obat-obatan.
Dalam sepuluh tahun terakhir, ekspor produk turunan kelapa sawit dari Indonesia meningkat signifikan, dari 20 persen di 2010 menjadi 80 persen pada 2020.
Saat ini, 168 produk hilir CPO berproduksi di Indonesia. Sedangkan di 2011 hanya ada 54 jenis produk hilir CPO.
Pada 2020, nilai ekspor produk sawit sebesar 19,89 miliar dolar Amerika Serikat (AS), kemudian meningkat 56,63 persen pada 2021.
Tenaga kerja berjumlah 4,20 juta pekerja langsung dan 12 juta pekerja tidak langsung. Program B30, yang merupakan salah satu produk dari kebijakan hilirisasi kelapa sawit, telah mampu mengurangi impor solar sebesar 9,02 juta kiloliter pada 2021. Artinya, terdapat penghematan devisa 4,54 miliar dolar AS atau setara Rp 64,45 Triliun.
Program ini juga mampu mengurangi emisi Gas Rumah Kaca sekitar 24,4 juta ton setara CO2.