Suara.com - Tidak sedikit pemilik kendaraan lebih memilih ban vulkanisir sebagai solusi untuk mengganti ban yang sudah botak. Faktor utamanya tentu karena harga yang ditawarkan jauh lebih murah dari ban baru.
Padahal pilihan ini bisa berdampak buruk atau bahkan membahayakan nyawa para penumpang kendaraan itu sendiri.
Ban vulkanisir sendiri biasanya digunakan pada kendaraan komersial.
Namun seperti dikutip dari laman Deltalube, ban vulkanisir yang lazim ditemukan ada dua jenis. Pertama, ban yang sudah tidak layak pakai diberi tambahan lapisan tread, yang lebih dikenal dengan sebutan tapak atau Kembangan ban.
Dengan begitu, setelah melewati proses vulkanisir, yang menjadi baru adalah bagian tapak ban saja. Sedangkan dinding dan struktur ban lainnya masih sama. Jenis ban vulkanisir ini yang biasa digunakan pada kendaraan komersial.
Baca Juga: NgabubuTips: Begini Cara Rawat Ban Cadangan, Biar Tak Usang sebelum Jalan
Untuk ban jenis ini memiliki risiko jika kualitas vulkanisir tidak bagus. Tapak ban yang tidak menempel dengan sempurna bisa lepas saat kendaraan sedang melaju.
Terlebih dalam keadaan kencang, kendaraan bisa tidak dapat dikendalikan sehingga membuat terjadinya kecelakaan.
Kedua, ban yang kondisinya ketebalannya sudah sampai atau bahkan melewati TWI (Tread Wear Indicator) lalu diukir kembali sehingga menyerupai ban baru. Berkat proses ini, ban jadi semakin tipis dan semakin dekat dengan lapisan lain yang ada di dalam ban. Ban vulkanisir jenis ini yang kerap dipakai kendaraan pessanger.
Sedangkan untuk jenis ini, memiliki risiko gampang robek akibat struktur ban yang aslinya memang sudah tipis. Bukan cuma itu, ban ini rawan licin saat digunakan karena bukan kompon yang seharusnya bergesekan dengan jalan. Terlebih dalam keadaan jalan basah atau hujan.
Ban vulkanisir memang sangat menarik dari segi ekonomi. Namun rasanya tidak sepadan dengan risiko yang dapat ditimbulkan. Jadi, lebih baik penggunaan ban tipe ini dihindari.