Suara.com - Mantan Bos Nissan, Carlos Ghosn menyatakan bahwa dirinya tidak pernah menginginkan adanya merger antara Nissan dan Renault. Konsepnya di luar aliansi yang ia inginkan.
Ia mengatakan bahwa saat itu potensi merger Nissan-Renault bukan idenya, akan tetapi atas arahan pemerintah Prancis.
"Prancis meminta saya. Jadi selain melanjutkan strategi bisnis yang berhasil bagi Renault, saya juga diminta agar bisa membuat aliansi," jelas Carlos Ghosn, sebagaimana dikutip dari The Drive.
Dijelaskan Carlos Ghosn pada Juni 2018 pemerintah Prancis mendekatinya dengan mandat merger. Penguasa negara itu bersikeras bila dirinya harus terlibat dalam merger otomotif ini.
Baca Juga: Aliansi Renault-Mitsubishi-Nissan Percepat Akselerasi Kendaraan Listrik untuk 2030
"Mereka tahu bahwa saya menentang merger. Saya memberi tahu mereka, "Jika Anda ingin melakukan merger artinya tanpa membawa nama saya"," demikian pengakuan Carlos Ghosn. Sebuah fakta yang mungkin belum diketahui oleh kalangan otomotif luar Prancis.
Sebagai informasi, pada tahun 2014, Prancis mengesahkan Undang-Undang Florange untuk memberi pemegang saham lebih banyak hak suara terhadap perusahaan publik.
Carlos Ghosn yang saat itu menjabat sebagai CEO Renault dan Nissan, secara terbuka menyatakan keberatan dengan pengesahan undang-undang ini. Sebab dinilai berpotensi mengganggu stabilitas Nissan dengan adanya pemberian hak suara terlalu besar untuk pemerintah Prancis dalam perusahaan.
Alhasil pemerintah Prancis terus menguasai saham Renault menjelang berlakunya undang-undang pada 2016.
"Ide saya waktu itu adalah membuat perusahaan induk yang berbasis di Belanda dengan satu saham yang sama untuk Nissan dan Renault dan Mitsubishi, yang akan diperdagangkan baik di Tokyo dan Paris, dan mungkin di Belanda, dengan satu dewan sebagai entitas," tutup Carlos Ghosn.
Baca Juga: Ada Kendala Airbag, Nissan dan Mitsubishi Hentikan Produksi Kei Car Patungan