Suara.com - Peningkatan produksi kendaraan listrik (EV) dapat membantu mengurangi gas rumah kaca dan emisi global, tetapi pembuatan baterai lithium-ion untuk berbagai macam produk dapat menimbulkan masalah yang berbeda dalam waktu dekat.
Material ini bisa ditemukan di hampir semua perangkat listrik dan EV, baterai lithium-ion telah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari.
Namun, ketika tiba waktunya untuk membuang sumber daya ini, memulihkan dan mendaur ulang logam mulia dari baterai lithium-ion tidaklah mudah.
Dilansir dari Rideapart, terkait hal ini para peneliti memproyeksikan bahwa baterai lithium-ion EV yang akan habis masa pakainya akan meningkat menjadi 1 juta ton pada tahun 2028.
Angka yang mengejutkan itu hanya menekankan fakta bahwa kita perlu menemukan cara yang lebih efisien dan efektif untuk mendaur ulang baterai lithium-ion.
Saat ini, pendaur ulang menggunakan proses pirometalurgi dan hidro-metalurgi untuk memulihkan bahan dalam baterai kaya kobalt.

Sayangnya, prosedur ini tidak bekerja dengan baik dengan fosfat besi dan unit lithium-ion berbasis oksida mangan.
Untuk baterai tersebut, metode daur ulang langsung digunakan dimana pendaur ulang memisahkan dan meremajakan logam aktif untuk digunakan kembali.
Untuk menemukan cara paling efektif untuk memisahkan bahan baterai, para peneliti beralih ke proses flotasi buih.
Baca Juga: Geng Motor Bacok Pemuda Sedang Nongkrong di Bogor
Awalnya digunakan dalam operasi penambangan, flotasi buih secara selektif memisahkan bahan hidrofobik dan hidrofilik.