Suara.com - Yannes Martinus Pasaribu, akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan pengamat otomotif nasional menyebutkan bahwa carbon tax atau pajak emisi kendaraan berdampak terhadap harga kendaraan serta berpengaruh terhadap lingkungan.
Dikutip dari kantor berita Antara, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2019 menyebutkan tentang kendaraan kena PPnBM yang sudah diundangkan pada 16 Oktober 2021 dan berlaku dua tahun kemudian.
"PP No. 74 Tahun 2021 sebenarnya ingin memaksa semua stakeholder otomotif melalui kebijakan fiskal untuk mempercepat mengembangkan mobil dan ekosistem berbasis rendah emisi dan khususnya yang berbasis baterai demi mengejar target penurunan emisi karbon sekitar 400 juta ton di 2030," jelas Yannes Martinus Pasaribu kepada kantor berita Antara, pada Kamis (21/10/2021).
Peraturan Pemerintah itu juga mengatur pengenaan pajak baru turunan dari PPnBM atas kendaraan bermotor ramah emisi yang terbagi menjadi kendaraan listrik murni, Fuel Cell Electric Vehicle (FCEV), sampai Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV).
Baca Juga: Studi: Kebanyakan Pengemudi Mobil di Inggris Berkendara Dalam Kondisi Pelek Rusak
"Semua produsen mobil di Indonesia dipaksa untuk mengganti bahan bakar fosil menjadi energi terbarukan dan listrik. Jadi, jika produsen mobil ingin mendapatkan pajak rendah bagi kendaraan yang mereka jual, maka harus membuat yang rendah emisi. Hal ini berdampak pada melonjaknya harga jual mobil pemakai BBM 20 kilometer per liter," jelas akademisi ITB itu.
Dipaparkan pula olehnya, jika mobil-mobil murah yang ada sekarang ini secara teknis mengonsumsi bahan bakar di atas 20 km/L, maka harga jualnya akan tetap relatif sama dibandingkan dengan sebelum adanya peraturan ini.
"Di sini tampaknya pemerintah masih melihat bahwa kemewahan mobil itu diukur dari besarnya kapasitas atau cc dari motor bakar (internal combustion engine)," tukas Yannes Martinus Pasaribu.
"Hal ini secara gradual akan mematikan industri-industri komponen mesin BBM yang ada saat ini, diperkirakan sekitar 40 persennya harus pindah usaha dalam 10 tahun ke depan," tukasnya.
Pengamat otomotif nasional ini menyatakan bahwa peta perpajakan berbasis karbon ini jelas berpotensi membuat mobil apapun yang menghamburkan emisi karbon menjadi semakin mahal dari harga jual sebelumnya.
Baca Juga: Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana, 10 Mobil BPNB Bagi Masker di Ambon
Melalui langkah ini dan berbagai insentif lainnya di dunia otomotif, pemerintah ingin mengamankan penerimaan negara dari penjualan mobil yang diharapkan dapat terus meningkat di pasar dalam negeri. Sambil tetap tunduk dan patuh kepada kesepakatan internasional penurunan emisi karbon 23 persen di 2030.
"Jadi, regulasi ini jelas merupakan kompromi pemerintah yang lembut terhadap situasi masih belum membaiknya ekonomi masyarakat, lemahnya sales industri otomotif dan tagihan dan tekanan internasional terhadap bukti konkret upaya dekarbonisasi di Indonesia (agar tidak semakin banyak terkena embargo perdagangan oleh banyak negara kaya dan negara industri maju). Sekali kayuh dua tiga pulau terlampaui," pungkasnya.