Suara.com - Industri otomotif nasional membutuhkan transisi sebelum menuju Battery Electric Vehicle (BEV). Sebabnya, perubahan mobil dari mesin pembakaran internal (Internal Combustion Engine/ICE) ke BEV sangat radikal.
Kondisi itu akan mengubah struktur industri otomotif nasional, mulai pemanufaktur, pemasok komponen, hingga konsumen.
Dari sisi industri mobil, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menilai, diperlukan transisi alami dari ICE ke BEV. Seperti halnya saat dunia otomotif mengalami kemajuan teknologi dari sistem transmisi manual ke otomatis atau matik. Ini untuk menghindari dampak negatif perubahan struktur industri otomotif.
Ketua V Gaikindo Shodiq Wicaksono menuturkan, Indonesia membutuhkan mobil listrik, seiring terus menurunnya pasokan bahan bakar fosil. BEV bisa mendorong pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi EV.
Baca Juga: Menuju Netralitas Karbon, Toyota Sematkan Sistem Pembangkit Tenaga Surya
"Mobil listrik juga bisa menurunkn emisi gas buang. Apalagi, pemerintah sudah menetapkan target 25 persen mobil yang dijual pada 2025 merupakan mobil listrik," kata Shodiq dalam webinar "Quo Vadis Industri Otomotif Indonesia di Era Elektrifikasi", baru-baru ini.
Akan tetapi, dia menegaskan, ada sejumlah tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan BEV. Pertama, harga BEV masih mahal, yakni Rp 600 jutaan, sedangkan daya beli konsumen masih di bawah Rp 300 juta. Alhasil, penetrasi pasar kendaraan listrik di Indonesia masih relatif rendah, belum mencapai 1 persen dari total pasar.
"PDB per kapita Indonesia saat ini masih di kisaran 4.000 dolar Amerika Serikat (AS), sehingga daya beli masyarakat untuk mobil masih di bwah Rp 300 juta," papar Sodiq.
Berdasarkan data Gaikindo, per September 2021, penjualan BEV mencapai 611 unit, hanya 0,1 persen dari total pasar, sedangkan PHEV 44 unit. Adapun penjualan HEV mencapai 1.737 unit atau 0,3 persen.
Baca Juga: Best 5 Oto: Adu Kebut Charles Leclerc-Carlos Sainz Jr., Bocoran All-New Toyota Avanza