Suara.com - Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Riyanto menilai sepeda motor listrik akan lebih mudah diterima pasar Indonesia karena penggunaannya lebih praktis ketimbang mobil listrik.
Sepeda motor listrik saat ini menggunakan metode swap baterai, yakni menukar baterai yang sudah habis dengan baterai baru. Praktik ini mirip dengan praktik menukar tabung gas kosong dengan tabung gas baru atau galon air minum kosong dengan yang baru.
Sedangkan pada mobil, ukuran dan kapasitas baterai jauh lebih besar karena baterai menjadi pusat daya untuk seluruh operasional mobil, mulai dari dinamo penggerak hingga sederet fitur di dalam kabin.
"Mungkin kalau yang sudah siap itu sepeda motor, karena ekosistem yang tidak begitu rumit. Pakai swap baterai itu bisa atau charge di rumah. Penggunaan sepeda motor juga tidak untuk jarak jauh," kata Riyanto, Kamis.
Baca Juga: LPEM UI: Mobil Listrik Diterima Masyarakat Jika Infrastruktur Sudah Tersedia
Riyanto mengatakan, teknologi pada sepeda motor listrik membuka peluang bisnis baru, misalnya penyewaan baterai atau jasa antar untuk swap baterai. Hal tersebut tidak bisa dilakukan pada mobil listrik.
"Ada positifnya dari perkembangan baterai karena akan ada bisnis baru nantinya bagi masyarakat," tambah dia.
Faktor lain yang membuat sepeda motor listrik akan lebih mudah diterima adalah faktor harga. Sepeda motor listrik ukuran mungil kini sudah tersedia seharga Rp10 jutaan, sedangkan mobil listrik yang dipasarkan di Indonesia harganya masih di atas Rp 600 jutaan.
"Kalau penggunaan listrik total cost-nya kan masih 25 persen atau 30 persen di atas mobil biasa. Harganya juga masih dua kali lipat (mobil konvensional). Walaupun biaya perawatan sangat menguntungkan pemilik, tapi orang akan lihat harga pertamanya," ucap dia. [Antara]
Baca Juga: Kunjungi Wuling Motors, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko Jelaskan Mobil Listrik