Suara.com - Indeks kecelakaan lalu lintas (lalin) Indonesia mengkhawatirkan. Ini terlihat pada naiknya angka kematian atau fatalitas akibat kecelakaan lalin sebesar 33 persen menjadi 12,4 pada 2018, dibandingkan 2009 yang hanya 8,6.
Itu artinya, pada 2018, dari 100 ribu penduduk, ada 12 orang meninggal akibat kecelakaan. Adapun pada 2009, dari 100 ribu penduduk, sembilan orang meninggal akibat kecelakaan. Indeks ini merujuk data Korlantas Mabes Polri dan Badan Pusat Statistik (BPS).
"Namun, dari sisi kasus, terjadi penurunan 22,2% menjadi 7,4 dari sebelumnya 9,3. Artinya, dari 10 ribu kendaraan ada sembilan kecelakaan pada 2019, sedangkan 2018 hanya tujuh kendaraan," ujar Edo Rusyanto, Koordinator Jaringan Aksi Keselamatan Jalan (Jarak Aman) dalam diskusi virtual 75 Tahun RI, Sudahkan Kita Merdeka di Jalan Raya, Selasa (29/9/2020).
Edo menilai, dari data itu bisa disimpulkan, fatalitas meningkat setelah UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) berlaku. Ini menjadi perhatian semua pihak, termasuk industri otomotif selaku pemasok kendaraan. Sebab, di dunia, kecelakaan lalu lintas lebih mematikan dibandingkan kejadian lain.
Baca Juga: Oleng, Pemotor Tewas Usai Terjun Bebas di Jembatan Gantung Pundong
Sebagai contoh, kecelakaan lalu lintas 21 kali lebih mematikan dibandingkan digigit ular.
Edo menegaskan, kecelakaan lalu lintas juga menyebabkan kemiskinan. Berdasarkan penelitian Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi Polri, 62,5% keluarga korban meninggal dunia jatuh miskin, sedangkan 13 persen keluarga korban luka berat miskin, 7 persen dapat pulih, dan 67 persen tingkat kesejahteraannya turun.
Sementra di era orde baru, ada UU No.14 tentang LLAJ, yang direvisi menjadi UU No 22 tahun 2009 di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Adapun pemerintahan Joko Widodo tengah menyiapkan revisi UU No. 22 tahun 2009 tentang LLAJ yang sudah masuk prolegnas. Pemerintah sekarang juga menyiapkan RUU Angkutan Daring.
Edo menyarankan, penegakan aturan harus dilengkapi infrastruktur agar masyarakat mau patuh. Contohnya, dahulu, banyak kendaraan naik trotoar lantaran sisinya miring. Namun, hal ini sudah tidak terjadi begitu sisi trotoar dibuat tegak.
"Dari pengamatan kami, untuk membangun budaya disiplin harus dipaksa juga dengan menutup celah pelanggar. Contoh, jika ada celah melawan arus, ada pelanggar yang masuk," kata dia.
Baca Juga: Tabrak Lari hingga Korban Tewas Tak Pernah Terungkap, Ini Kata Polda DIY
Kasubdit Kamsel Ditlantas Polda Metro Jaya Herman Ruswandi menegaskan, pada 2019, kasus kecelakaan mencapai 8.877, dengan meninggal dunia 559 orang dan luka2 8.318. Jumlah itu naik tajam dari 2019, yakni 5.903 kasus, korban meninggal 567 orang, dan luka-luka 5.336 orang. Faktor penyebabnya adalah manusia, kendaraan, jalan, dan lingkungan.
Menurutnya, upaya mencegah kecelakaan ada tiga, yakni pendidikan, edukasi, dan penegakan hukum. Di bidang pendidikan, Polri telah meneken nota kesepahaman dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang mewujudkan pendidikan berlalu lintas dalam pendidikan nasional.
Dari sisi penegakan hukum, dia menuturkan, Polda Metro Jaya telah memasang electronic traffic law enforcement (ETLE), yang menggunakan perangkat elektronik dan rekaman elektronik di Jakarta.
Awalnya, ETLE hanya mendeteksi pelanggaran lampu merah dan pelanggaran marka jalan. Namun kini, ETLE sudah dapat mendeteksi pelanggaran lampu merah, pelanggaran marka jalan, pelanggaran batas kecepatan, tidak menggunakan sabuk pengaman dan menggunakan ponsel saat berkendara.
"Pengembangan ETLE tahap II dibiayai hibah Pemprov DKI Rp 38,5 miliar," tutup Herman.