Rencana Pajak Mobil Baru Nol Persen, Strata Ekonomi Mana Disasar?

Jum'at, 25 September 2020 | 09:00 WIB
Rencana Pajak Mobil Baru Nol Persen, Strata Ekonomi Mana Disasar?
IIMS 2019 di JIExpo Kemayoran Jakarta. Juga menjadi salah satu bukti gairah industri otomotif Nasional di masa bukan pandemi COVID-19 [Suara.com/Arief Hermawan].
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Wacana relaksasi pajak pembelian mobil baru nol persen usulan Gaikindo yang dialamatkan kepada Kementerian Perindustrian menjadi upaya asosiasi ini untuk menggairahkan kembali industri Nasional ini, yang mengalami dampak virus Corona di sektor otomotif, sejak April 2020.

Jika terealisasi, kebijakan ini akan berlaku hingga akhir Desember 2020. Dan akan ada dua skenario pemotongan, yaitu:

  • Pemotongan PPN saja hingga nol persen. Berarti, harga mobil baru akan turun hingga 10 persen, ditambah rata-rata beban inflasi sekitar 10 persen. Bila diestimasi harga mobil baru akan sama dengan harga 2019.
  • PPN dan PPnBM menjadi nol persen. Harga kendaraan akan turun sekitar 15 persen dari harga tahun lalu untuk produk yang sama.

Namun pengamat otomotif Nasional, Yannes Martinus Pasaribu melemparkan pandangannya: stimulus pemerintah ini untuk menaikkan daya beli masyarakat strata ekonomi manakah, yang daya belinya bisa terangkat akibat tekanan ekonomi global?

GIIAS Makassar 2019 The Series [Dok. Seven Events]
GIIAS Makassar 2019 The Series. Sebagai ilustrasi barometer produk otomotif di Indonesia Timur [Dok. Seven Events]

"Secara hipotetis, dengan menurunkan harga tadi dapat menarik daya beli masyarakat, tentunya Gaikindo sudah ada kajiannya. Dengan mengondisikan pemerintah untuk menghilangkan potensi pendapatan negara dari pajak, artinya hingga akhir tahun ini potensi pemasukan pemerintah dari pajak-pajak terkait kendaraan bermotor menjadi nol persen," ujar Yannes Martinus Pasaribu saat dihubungi Suara.com.

Baca Juga: Pajak Nol Persen Masih Rencana, Begini Komentar PT HPM Soal Harga

Padahal, sambungnya, pemerintah juga sedang mengalami kesulitan keuangan. Keputusan ini sebenarnya telah menjadi sebuah dilema.

Sebagai gambaran kasar, namun bukan sesuatu yang fixed, biaya produksi (rangkaian dari industri tier 1 sampai tier 4, berikut impor komponen) sebuah kendaraan berkisar antara 30-40 persen dari harga retail ke konsumennya. Biaya marketing, biaya logistik-distribusi hingga margin ke dealer sekitar 10 persen, margin laba perusahaan dan prinsipal berkisar 10-15 persen. Total, secara kasar sekitar 60 persen dari harga retail kendaraan.

"Permasalahannya akan berkembang ke sisi fairness. Jika pemerintah pusat menghilangkan pajaknya, mengapa industri otomotif tidak sekalian mengurangi margin profitnya?" ucap Yannes Martinus Pasaribu.

Selain itu, pemerinah provinsi juga harus melakukan relaksasi BBNKB yang berjumlah sebesar 12,5 persen dan PKB (tahunan) yang berjumlah sekitar 2 persen. Jadi kebijakan ini nantinya bisa lebih fair.

"Jadi situasi ini bisa ditanggung renteng baik oleh pemerintah maupun para pelaku usahanya," pungkas Yannes Martinus Pasaribu.

Baca Juga: Suzuki Optimis Stimulus Pengurangan Pajak Dongkrak Penjualan Mobil

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI