Suara.com - Persetujuan Kemitraan komprehensif di bidang ekonomi antara Indonesia-Australia atau 'Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement' (IA-CEPA) sudah melalui proses ratifikasi dari kedua negara dan efektif akan berlaku tanggal 5 Juli nanti.
KP IA CEPA Berbeda dengan perjanjian dagang sebelumnya, IA-CEPA lebih mengedepankan kemitraanSektor kesehatan dan pendidikan di Indonesia akan yang ditawarkan lebih duluPerjanjian ini dianggap kurang menguntungkan dari neraca perdagangan Indonesia
IA-CEPA merupakan sebuah perjanjian yang mengedepankan aspek kerja sama kooperatif antara Indonesia dan Australia, di luar dari negosiasi pasar yang tercantum dalam bentuk perjanjian lain, yaitu Free Trade Agreement (FTA).
Melalui perjanjian bilateral yang diawali dengan kesepakatan deklarasi pada bulan April 2005 lalu, kedua negara mengusahakan keuntungan bagi kedua belah pihak.
Baca Juga: Best 5 Oto: Helm Kebablasan Uniknya, Jaringan Honda Diretas
Saat berkunjung ke Australia dan bertemu dengan Perdana Menteri Scott Morrison bulan Februari lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan kerja sama antara kedua negara akan lebih baik.
"Hubungan ekonomi kedua negara secara komprehensif akan lebih maju dan harus dirasakan manfaatnya oleh rakyat kedua negara," ujar Presiden Jokowi.
Menurut Shinta Widjaja Kamdani, wakil ketua umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN), yang turut berpartisipasi dalam penyusunan IA-CEPA, kemitraan tersebut berbeda dibandingkan kerja sama dengan Australia yang pernah ada.
Parlemen Indonesia telah meratifikasi perjanjian kerja sama perdagangan baru dengan Australia.
ABC News: Ari Wuryantama
Baca Juga: Begini Isi Tas Masa New Normal, Nomor 2 dan 8 Ada Unsur Otomotif
Shinta menjelaskan jika Free Trade Agreement lebih bersifat "liberalisasi", sementara perjanjian baru ini lebih menekankan pada kemitraan.
"Kalau CEPA ada aspek facilitation [fasilitasi] dan capacity building [pengembangan kapasitasnya]. Jadi ada cooperation [kerja sama] aspeknya," katanya.
"Ini yang membuat sedikit berbeda dengan hanya sekedar menawar untuk membuka pasar dan bisa menurunkan tarif," tambah Shinta.
Sektor pendidikan dan kesehatan segera bergerak Monash University asal Melbourne mengatakan akan membuka kampus di Jakarta pada akhir tahun 2021.
Dengan fokus pada pengembangan kapasitas, ratusan warga Indonesia akan mendapat kesempatan mendapat pelatihan di Australia selama enam bulan.
Pelatihan ini mencakup beberapa bidang, seperti kesehatan, pendidikan, pariwisata, Teknologi Informasi (TI), dan 'e-commerce' atau perdagangan elektronik.
"Saya rasa skills [keterampilan] ini menjadi hal yang sangat penting, termasuk vocational training [pelatihan kejuruan] karena di Indonesia, seperti diketahui, ini kekurangan kita, selama ini kita kekurangan skill workers [atau pekerja terampil]," kata Shinta.
"Ini kesempatan bagi Pemerintah Australia untuk memberikan kita lebih banyak pelatihan dan pendidikan," tambahnya.
Shinta dari Kamar Dagang dan Industri mengatakan kerjasama Indonesia akan memberikan kesempatan pelatihan bagi warga Indonesia.
IA-CEPA telah disebut-sebut membuka peluang investasi di sektor pendidikan dan pelayanan kesehatan Indonesia, kedua bidang yang menurut Shinta pergerakannya akan terlihat setelah 5 Juli mendatang.
Kesepakatan ini menjamin pihak Australia akan memiliki hak investasi sebesar 67 persen di bidang pendidikan kejuruan dan pelatihan kerja di Indonesia.
"Kesehatan akan kelihatan dari sisi investasi dalam bentuk fasilitas perawatan di rumah sakit dan alat kesehatan," kata Shinta.
"Sedangkan pendidikan dalam waktu dekat akan ada kehadiran fisik dari Monash University dan ANU [Australian National University]," tambahnya kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia di Melbourne.
Monash University Australia sudah mengatakan akan membuka kampus di Jakarta pada akhir tahun 2021 bagi mahasiswa S2 dan S3, meski Shinta tidak dapat memastikan kapan tepatnya kerja sama bisa segera diwujudkan.
"Dengan kondisi COVID ini sangat sulit diprediksi," tambah Shinta melalui pesan tertulis kemarin (10/06).
Tak hanya itu, akan ada lebih banyak anak-anak muda Indonesia yang berusia maksimal 30 tahun untuk bekerja sambil berlibur di Australia, setelah kuota visa Work and Holiday ditingkatkan hingga 4.100 di tahun pertama.
Gerbang terbuka bagi produk otomotif Indonesia.
Salah satu potensi yang bisa dikembangkan Indonesia adalah produksi mobil listrik untuk pasar Australia.
Melalui IA-CEPA, salah satu manfaat yang diterima Indonesia adalah pemberlakuan tarif nol persen ketika mengekspor produk ke Australia, yang menurut Shinta memberikan peluang bagi Indonesia untuk mengekspor 20 komoditi baru ke Australia.
Salah satunya adalah industri produk otomotif, khususnya mengekspor mobil listrik ke Australia.
Menurut keterangan pers di Canberra menjelang pertemuan dengan PM Australia Scott Morrison (08/02/2020), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan mobil hybrid dan electric vehicle (EV) kira-kira akan diproduksi pada tahun 2021.
Yohannes Nangoi, ketua umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) telah mendengar jika mobil listrik sudah menjadi bagian yang disebutkan dalam IA-CEPA.
Yohannes Nangoi, ketua umum GAIKINDO mengatakan perusahaan mobil di Indonesia siap memenuhi permintaan sesuai standar Australia.
Tapi kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia, Yohannes Nangoi mengatakan karena pabrik mobil listrik di dalam negeri belum pernah memproduksinya sama sekali, ia tidak tahu kapan skenario ini akan terealisasi.
"Tantangannya masih banyak. Ini mobil masa depan iya, tapi tidak bisa yang langsung dipaksakan sekarang orang beralih ke electric car itu belum. Jadi Indonesia kalau ditanya apakah kita sudah siap jawabannya belum."
Ia menambahkan negara-negara penghasil mobil, termasuk Indonesia, kini masih fokus memproduksi 'combustion engine' atau kendaraan tradisional yang menggunakan bahan bakar fosil.
"Terus terang, sekarang masih belum ada satu negarapun … yang penghasil mobil, yang sudah 100% dengan mobil listrik," kata Yohannes Nangoi.
Menurutnya, beberapa negara penghasil mobil terbesar, seperti China dan Jepang, hanya mampu memproduksi 25 hingga 30 juta unit mobil listrik per tahunnya, yakni sebesar tiga hingga empat persen kapasitas produksi mereka.
Namun, Yohannes Nangoi mengatakan IA-CEPA menjadi "gerbang yang sudah dibuka" dan meyakini kapasitas Indonesia untuk mengekspor produk mobil lainnya ke Australia.
Ia pun mengatakan percaya diri jika produk kendaraan buatan dalam negeri dapat melalui proses standarisasi Australia yang relatif ketat.
"Kalau kita ngomong negara termaju untuk otomotif, misalnya Jepang, kita sudah ekspor mobil ke sana. Jadi, yang namanya standar kita mampu," kata Yohannes Nangoi.
Namun, untuk mewujudkan hal tersebut, Yohannes Nangoi mengatakan pihak produsen mobil di Indonesia harus bernegosiasi dengan perusahaan induk asing mereka, yang tetap dapat menolak untuk memberikan izin produksi.
Di tahun 2019, Indonesia merupakan negara yang mengimpor sapi terbanyak dari Australia, yaitu 675.874 ekor.
Apakah sebenarnya Indonesia diuntungkan?
Menteri Perdagangan Indonesia, Agus Suparmanto mengatakan ratifikasi IA-CEPA berpotensi meningkatkan akses pasar Indonesia ke Australia.
"Diharapkan dengan meningkatnya akses pasar, otomatis, kita mengurai defisit juga, plus juga nanti ekspor akan kita tambah," kata Agus dalam pertemuan di Canberra (08/02).
Namun Bhima Yudhistira, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) malah khawatir diberlakukannya IA-CEPA justru akan memperlebar defisit neraca perdagangan negara.
Menurutnya, ancaman kerugian bagi Indonesia yang mungkin terjadi datang dari sektor pertanian Australia yang selama tahun 2015-2019 merupakan penyumbang defisit terbesar, yaitu senilai US$3,2 miliar.
Padahal, melalui IA-CEPA, sektor pertanian Australia akan mendapatkan kemudahan dalam mengekspor produk ke Indonesia, berupa pemotongan hingga pembebasan tarif.
Sementara untuk Indonesia mengekspor ke Australia, Bhima berpendapat walaupun sudah ada perjanjian, akan relatif sulit bagi Indonesia untuk memasuki pasar negara maju tersebut.
Bhima mengatakan tidak melihat akan adanya peningkatan ekspor dari Indonesia ke Australia yang signifikan pasca IA-CEPA.
"Argumentasi saya demografi dan kelas sosial di Australia … artinya dari sisi permintaan barang, mereka akan prefer [memilih] barang dengan kualitas yang lebih bagus atau high quality [kualitas tinggi]," kata Bhima.
Ia menilai dilihat dari kesiapan industri, termasuk teknologi yang dimiliki Indonesia, pangsa pasar ekspor sebenarnya bukan ke Australia.
"Demand [permintaan] untuk produk Indonesia sejauh ini adalah justru negara-negara yang pendapatannya di bawah Indonesia."
Walau menyadari keuntungan bagi Indonesia dalam hal transfer ilmu dan teknologi serta peluang ekspor komoditi di bidang produksi pertanian, Bhima merasa kemitraan dengan Australia dinilai kurang menguntungkan bagi Indonesia.
"Sebenarnya untuk pengembangan … [pertukaran teknologi dan pertukaran SDM untuk saling belajar], tanpa IA-CEPA bisa dilakukan dengan mekanisme-mekanisme yang ada sekarang," jelasnya.
Ia juga mengatakan jika kerja sama yang menitikberatkan pada perjanjian perdagangan ini nantinya malah akan berimbas pada defisit dalam negeri yang semakin melebar.
"Jadi itu tidak equal [setara] dibandingkan investasi ataupun pengembangan teknologi, misalkan untuk peternakan di Indonesia."
Simak berita lainnya di ABC Indonesia.