Rajesh lalu menyetir sendiri ke rumah sakit, sekalipun sangat kepayahan bernapas. Sesampai di sana, ia didiagnosa pneumonia.
“Paginya ia telepon saya dari rumah sakit lewat panggilan video. Namun anak-anak melihatnya, mereka menangis,” kata Mary. “Ia lalu mematikan video dan bilang ke saya, ia tak mau anak-anaknya melilhatnya saat sakit seperti itu”.
Tanggal 11 April, dokter yang merawat Rajesh menelepon Mary dan menjelaskan kondisi Rajesh kritis dan tak akan membaik. Mereka mengatur panggilan video untuk Mary dan anak-anak untuk melihat Rajesh terakhir kali. Rajesh sudah tidak sadar. Ia meninggal dua jam kemudian.
Penggalangan dana
Baca Juga: Berhadiah Total Rp1,2 Miliar, Garena Gelar Free Fire Asia All-Stars 2020
Setelah tahu anaknya meninggal dunia, ibunda Rajesh jatuh sakit. Ia menderita darah tinggi dan terjadi lonjakan level gula darahnya. “Tak ada yang bisa menghiburnya,” kata Mary.
Karena tekanan utang untuk membeli tanah, tagihan rumah sakit dan biaya sekolah, Mary mencoba mencari kerja jadi pembersih. Namun karena karantina, ia sulit mendapat pekerjaan.
Sunil membantu mereka selagi bisa, dan Sunil juga sedang mencari jalan untuk menuntut pemilik pondokan Rajesh secara hukum. Keluarga Mary juga membentuk penggalangan dana.
Pihak Uber menghubungi BBC menyatakan bela sungkawa atas Rajesh.
Namun Mary masih berjuang karena hidupnya begitu cepat berubah.
Baca Juga: Eks TNI Tuntut Presiden Mundur, Sudirman Said: Ini Gejala Demokrasi Biasa
“Rajesh sudah tiada, hidup kami jadi sangat sulit,” katanya. “Saya tak tahu bagaimana hidup kami tanpa dia”.