Suara.com - Bahwa Ayrton Senna, salah satu driver Formula One (F1) terbesar sepanjang sejarah wafat seorang diri di Curva Tamburello, Autodromo Enzo e Dino Ferrari, Imola Italia, dalam F1 Grand Prix (GP) San Marino 1994 (1/5/1994) memang benar adanya. Namun sejatinya ada nama lain, yang kadang terlewatkan, yaitu Roland Ratzenberger.
Lahir di Salzburg, Austria, 4 Juli 1960, Roland Ratzenberger wafat sehari sebelum kepergian Ayrton Senna, yaitu pada 30 April 1994. Ayrton Senna dimakamkan di Brasil pada 5 Mei 1994, dan Roland Ratzenberger di Austria pada 7 Mei 1994.
Kejadian fatal yang merenggut nyawa Roland Ratzenberger terjadi pada qualifying day F1 GP San Marino 1994. Saat itu, jet daratnya mengalami off-track yang membuat wing depan rusak, namun ia putuskan untuk terus melaju. Pasalnya tengah bertarung memperebutkan posisi grid.
Akhirnya, di Villeneuve Corner gagal berbelok dan menghajar wall, dalam kecepatan 300 km per jam. Roland Ratzenberger pun mengalami cedera kepala dan dinyatakan wafat saat tiba di rumah sakit Maggiore Hospital, Bologna, Italia.
Baca Juga: Pengalaman Suara.com Menghubungi Travel Gelap yang Jamin Lolos Bawa Pemudik
Pagi hari sebelum race day F1 GP San Marino 1994, asosiasi driver termasuk Ayrton Senna sebagai salah satu pembalap paling senior saat itu, berdiskusi tentang pentingnya meningkatkan unsur safety. Agar kejadian nahas seperti yang dialami Roland Ratzenberger tak terulang kembali.
Malang, Ayrton Senna mengalami tragedi menghantam wall pula, di lokasi berbeda. Dan sebuah bukti betapa peristiwa fatal Roland Ratzenberger ia sayangkan, adalah bendera Austria dilipat rapi dalam kantong di racing suits yang dikenakannya. Rencananya bakal dikibarkan saat finish, sebagai penghormatan kepada Roland Ratzenberger.
Bila ada komentar menyebutkan bahwa Roland Ratzenberger menjadi sosok terlupakan dari F1 GP San Marino 1994, David Brabham, mantan driver F1 rekan satu timnya menyatakan tidak.
Sebagaimana dikutip dari BBC Sport, putra pembalap senior Sir Jack Brabham--juara dunia F1 tiga kali--itu menyebutkan, "Faktanya ia meninggal di gelaran yang sama dengan Senna. Artinya, Roland akan selalu dikenang."
David Brabham menyebutkan, setelah bertahun-tahun peristiwa minggu maut di F1 GP San Marino 1994, ia berkunjung lagi. Tentunya peristiwa pahit akan Roland Ratzenberger bangkit kembali, namun ada sisi positif pula.
Baca Juga: Hingga Vaksin Corona Ditemukan, Stadion di Belanda Dipastikan Kosong
"Tidak ada hal buruk dalam dirinya. Ia tampan, memiliki sisi yang menyenangkan, dan semua orang menyukainya," tambahnya.
"Bahkan Roland mungkin meninggal dalam bahagia, karena tengah balapan F1, sesuatu yang sangat ia dambakan selama ini. Ia tersenyum di hari kejadian, dan itulah kenangan terakhir saya tentang dia," kisah David Brabham.
Dituturkannya bahwa Roland Ratzenberger bergabung dengannya di tim kecil yang bermarkas di Oxfordshire, Inggris pada awal musim balap 1994. Baginya, itulah impian terbesar seumur hidup bagi lelaki berkebangsaan Austria ini. Yaitu berlaga di pentas balap jet darat.
"Roland tidak dibantu secara finansial oleh orangtuanya, bahkan ayahnya tidak setuju dia ikut balap. Sehingga ia pergi sendirian saja," lanjut David Brabham.
Sebelum sukses menapaki F1, Roland Ratzenberger berlaga di cabang balap touring, Formula 3000, sampai balap ketahanan Le Mans 24 Jam.
"Saya senang tim kami mengontraknya. Bagi saya dia adalah pembalap yang ideal. Dia cepat saat berlaga di trek dan mengerti soal jet darat. Ia adalah aset bagi tim Simtek," tukas David Brabham, di mana ayahnya saat itu ikut memiliki saham dalam tim balap mereka.
Hal terberat bagi David Brabham bila mengingat pekan penuh tragedi di F1 GP San Marino 1994 tentu saja kepergian rekan satu timnya, Roland Ratzenberger. Kemudian Rubens Barrichello (Jordan), sebagai driver Brasil generasi penerus Ayrton Senna, yang mengalami patah hidung dan lengan saat jetnya menghantam wall di Variante Bassa.
Dan saat race day, tabrakan pun sudah terjadi sejak awal. Masih di grid, jet darat Pedro Lamy (Lotus) berputar keluar dari trek usai menabrak buritan tunggangan JJ Lehto (Benetton). Safety car meluncur, dan dilakukan restart. Lantas di lap enam, petaka fatal terjadi. Bendera merah kembali dikibarkan.
"Semua tunggangan berhenti sekali lagi. Saya hanya bisa berpikir, 'Jangan, jangan terjadi lagi'. Dan kita semua tersadar ... Korbannya adalah Senna," kenang David Brabham.
"Saya tidak tahu kabar tentangnya, sampai malam saat menghidupkan Teletext. Saat itulah saya menangis, tak kuasa menahan emosi sepanjang akhir pekan yang berat," ujar pembalap yang memenangkan balap ketahanan Le Mans 24 Jam pada 2009 bersama Alexander Wurtz (Austria), dan Marc Gene (Spanyol) menggunakan Peugeot 908 HDi-FAP.
Setelah kejadian fatal atas Roland Ratzenberger dan Ayrton Senna, unsur safety di pentas F1 terus diperkuat. Hingga tiada kecelakaan fatal, sampai tragedi Jules Bianchi (Marussia) pada 2014. Serta Anthoine Hubert di pentas Formula Two (F2) pada 2019.
Beristirahatlah dalam damai, Roland Ratzenberger. Kau tidak terlupakan!