Suara.com - Ular kobra jawa (Naja sputatrix) atau dikenal juga sebagai ular sendok mendadak menjadi pembicaraan hangat di Tanah Air setelah ditemukan berkeliaran di dekat pemukiman manusia di Jakarta, Depok, hingga Jawa Timur.
Wali Kota Depok, Mohammad Idris, pada Selasa (17/12/2019) bahkan sampai mengundang intelijen untuk mengungkap fenomena teror kobra jawa di daerahnya.
Lalu mengapa kobra jawa mendadak banyak berkeliaran di Depok atau Jakarta? Berikut empat fakta terkait kobra Jawa seperti yang disampaikan oleh peneliti bidang herpetologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Amir Hamidy:
Habitat kobra jawa
Baca Juga: Nekat Disimpan ke Botol, Detik-detik Bocah 8 Tahun Dicatuk Ular Kobra
Kobra jawa lazim menghuni habitat seperti perbatasan hutan yang terbuka, savana, persawahan hingga pekarangan. Ular berbisa ini menyukai suhu ruangan yang hangat dan lembab untuk tempat menetaskan telur.
Telur kobra diletakkan di lubang-lubang tanah atau di bawah serasah daun kering yang lembap. Telur-telur tersebut akan menetas dalam rentang waktu tiga sampai empat bulan.
Telur kobra jawa menetas di awal musim hujan
Hampir semua jenis ular, termasuk kobra jawa pada periode tertentu akan meninggalkan telur-telurnya dan membiarkan telur tersebut menetas sendiri.
“Awal musim penghujan adalah waktu menetasnya telur ular. Fenomena ini wajar, dan merupakan siklus alami,” tambah Amir.
Baca Juga: Lagi Asik Main Temukan 2 Anak Kobra, Bocah 8 Tahun di Depok Dipatuk Ular
Kobra jawa hasilkan 20 telur
Ular ini berukuran rata-rata 1,3 meter dan bisa mencapai ukuran panjang 1,8 meter. Sekali bertelur induk betina ular kobra jawa dapat menghasilkan 10 sampai 20 butir telur.
“Begitu menetas, anakan kobra akan menyebar ke mana-mana,” katanya.
Karenanya masyarakat perlu mewaspadai fenomena munculnya anak-anak ular kobra di beberapa pemukiman seperti di Bogor, Bekasi, Jember, Jakarta Timur, Klaten dan Yogyakarta.
Kobra jawa mampu menyemprotkan bisa
Terdapat dua jenis ular kobra di Indonesia, yakni kobra sumatra atau Naja sumatrana yang terdapat di Sumatera dan Kalimantan dan kobra jawa atau Naja sputarix yang terdistribusi di Jawa, Bali, Lombok, Komodo, Pulau Rinca, Sumbawa dan Flores.
Ular kobra jawa berbahaya karena memiliki kemampuan meyemprotkan bisa.
Dalam buku petunjuk penanganan gigitan ular yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) insiden gigitan ular di Asia Tenggara musiman, tertinggi terjadi selama masa peningkatan aktivitas pertanian dan musim hujan.
Sebagian besar gigitan ular dialami petani yang bekerja bertelanjang kaki, sehingga bagian kaki dan pergelangan kaki yang banyak terkena.
Epidemi gigitan ular mengikuti siklus banjir, badai dan invasi habitat ular untuk pembangunan jalan, irigasi dan penebangan hutan. Aktivitas-aktivitas menyebabkan perubahan jangka panjang pada iklim dan ekologi dan mendorong mereka masuk pemukim manusia. [Antara]