Suara.com - Seperti sudah saya duga, dalam tulisan sebelumnya saya membahas tentang Divine Madman, salah satu guru spiritual dalam kepercayaan masyarakat Bhutan yang memberikan filosofi lewat pengantara (maaf) berupa phallus alias Mr P, dan ternyata topik ini "laris". Beberapa rekan berkomentar: mengapa saya tidak membawakan oleh-oleh atau cendera mata gantungan mobil berupa benda ini?
Sebenarnya, apa yang mereka katakan itu ada benarnya. Bahwa miniatur Mr P bisa dijadikan buah tangan, tak ubahnya beberapa lembar kain tenun khas atau gelang dan kalung buatan warga setempat di Bhutan.
Namun, jangankan membelinya, masuk ke toko souvenir pun saya malu, karena kemungkinan "bertemu" Mr P. Apalagi di sepanjang perjalanan, mulai rumah-rumah warga hingga tempat peribadatan banyak dijumpai keberadaannya dalam bentuk lukisan pada dinding dekat pintu.
Baca Juga: Sidang MPR, Presiden Joko Widodo Sebut Bahan Baterai dan Mobil Listrik
Padahal, sejatinya saya bisa menitipkan pembelian cendera mata khas ini kepada Rinchen, driver mobil sewa saya, atau Kindey Duba, sang pemandu perjalanan. Karena bagaimanapun, kami bertiga menjadi satu tim dalam perjalanan bermobil keliling Bhutan.
Antara satu kota dengan lainnya, terbilang cukup jauh. Seperti Paro, lokasi bandara sebagai gerbang masuk negara berjuluk Druk Yul atau Land of the Thunder Dragon itu jaraknya sekitar delapan jam dari Thimphu, ibu kota Bhutan. Bila Kindey Duba dan Rinchen tidak sabar atau kurang ramah, waduh, rasanya perjalanan bakal terasa hambar, sehingga saya ingin cepat-cepat pulang, bukan?
Beruntung keduanya sangat penolong lagi murah senyum, sehingga meskipun ke Bhutan seorang diri, saya tidak merasa terasing. Perjalanan bermobil yang lama, serta diselingi menginap di hotel transit pun tidak terasa menghabiskan waktu, karena saya dijaga oleh orang-orang terpercaya ini.
Beberapa keunikan soal perjalanan bermobil telah saya ungkapkan dalam tulisan-tulisan sebelumnya. Seperti kesiapan Rinchen dalam preparasi mobil, sehingga setiap kali kami bertiga hendak bertolak ke suatu kota atau destinasi, pasti sudah rapi. Acara singgah di tempat pengisian bahan bakar pun tidak ada, karena sudah dilakukan selesai mereka mengantar saya ke hotel.
Satu lagi, meski namanya perjalanan bermobil dan berlibur, operasional wisata saya di Bhutan serasa "ngantor" saja. Yaitu, perjalanan dimulai pukul 09.00 pagi dan selalu sudah sampai di hotel atau tempat bermalam pada pukul 17.00. Benar-benar terasa 9 to 5, kan?
Baca Juga: Unik Sampai Bikin Ngilu, 5 Kelakuan Pengemudi Viral
Hal itu disebabkan karena ketiadaan lampu penerangan di jalan-jalan luar kota Bhutan, sehingga malam hari tentunya gelap total. Juga, tidak dibolehkan melintasi jalan-jalan di lereng pegunungan di saat-saat menjelang petang. Peraturan ini tentunya menambah perasaan safe pula bagi para wisatawan yang bepergian di Bhutan.
Laman berikut adalah suguhan seru sebelum menjauh dari bandara Paro.
Perasaan seru tentang wisata bermobil di Bhutan ini sudah saya rasakan sejak tiba di Bangkok, Thailand. Salah satu negara di mana pesawat milik Bhutan beroperasi. Di ibu kota Negara Siam (sebutan bagi Thailand) itu saya mesti menginap satu malam, mengingat penerbangan mestinya dilakukan pagi hari namun mengalami cancellation. Sehingga diberikan jadwal hari berikutnya.
Terbang mendekati Paro, suasana terasa makin keren. Apalagi, Paro Airport adalah salah satu bandara paling berbahaya di dunia. Dalam artian merujuk pada kondisi geografisnya. Berlokasi di pegunungan dengan kondisi runway dan jarak pendaratan yang pendek. Dan hal ini masih ditambah pula dengan faktor cuaca.
Sementara berbicara tentang pemandangan dari atas pesawat sendiri, tampak begitu indah. Dari kaca jendela, saya bisa melihat rumah-rumah penduduk di dataran tinggi rangkaian Pegunungan Himalaya. Lantas sebelum landing, pesawat berputar dan berada dalam posisi miring, sampai mendekati lintasan pendaratan baru kembali lurus.
Dan akhirnya mendarat dengan mulus. Ketika para penumpang turun pesawat, pilot membuka jendela dan tersenyum kepada kami semua. Welcome to Bhutan!
Sampai saat ini, menilik kondisi geografis serta runway di bandara Paro, jumlah pilot yang bertugas menerbangkan penumpang ke Bhutan bisa dihitung dengan jari. Mereka memiliki lisensi khusus boleh mendarat di sini.
Yang membuat para wisatawan bisa salfok alias salah fokus soal kabin crew pesawat milik Bhutan adalah ... mereka sangatlah keren lagi tampan. Berkulit bersih mirip Indo China, namun bila tengah berbicara baru ketahuan mereka asal Bhutan, negara tetangga India, dengan gaya menggerak-gerakkan kepala.
Hal ini juga tampak pada sosok kedua penjemput saya di bandara, Rinchen dan Kindey Duba. Mereka berkulit bersih dan baru terasa asli Bhutan ketika mulai bercakap-cakap.
Untuk kami bertiga, kendaraan sewaan adalah sedan lansiran Hyundai. Selain itu, di berbagai tempat di Bhutan, mayoritas produk kendaraan roda empat atau mobil yang tersedia adalah buatan Toyota, Maruti Suzuki, serta Hyundai.
Setelah dikalungi semacam syal tanda selamat datang, saya pun mendapatkan keterangan detail dari Kindey Duba tentang rencana perjalanan kami. Dan sekali lagi perlu digarisbawahi oleh calon wisatawan, bahwa Bhutan adalah negara bebas rokok dan bebas plastik.
Sebelum meninggalkan bandara Paro itulah, mobil sewa saya yang disopiri Rinchen berhenti beberapa saat lamanya di atas sebuah bukit untuk menonton aktivitas take off dan landing dari pesawat-pesawat milik Bhutan. Seru sekaligus mendebarkan. Sebuah tontonan yang sangat menarik.
Laman berikut adalah tentang filosofi GNH. Apakah itu?
Setelah menyaksikan kegiatan di bandara, salah satu perjalanan terkeren di kota Paro adalah kunjungan ke Tiger's Nest alias Sarang Harimau, di sebelah utara kota dengan keunikan lokasi. Yaitu seperti "menempel" pada lereng perbukitan curam di ketinggian sekitar 3.120 m di atas paras laut (dpl).
Pengunjung bisa mencapai lokasi biara Paro Taktsang dengan cara mendaki atau naik keledai menuju ke puncak salah satu pintu masuknya yang terbagi menjadi berapa area, seperti jalur hutan pinus, jalur para peziarah, serta jalur jalanan berbatu.
Salah satu momen paling menarik di biara terpencil di atas gunung bebatuan ini adalah saat mencoba bersuara di dalam gua yang menggema. Saya mencoba menirukan suara harimau mengaum. Maklum, saya adalah pencinta kucing, dan satwa rumahan itu konon masih terhitung saudara tua dari harimau.
Namun sayangnya, atau malahan beruntungnya, tidak ada suara sahutan pada saat para pengunjung mengaum. Coba bila ada, tentu saja kami akan lari tunggang-langgang!
Dalam perjalanan ke Tiger's Nest, Kindey Duba juga menjelaskan bahwa Bhutan adalah sebuah kerajaan kecil yang terletak di antara dua negara raksasa, yaitu China di bagian utara, serta India di bagian selatan. Luas negara mencapai 38.394 km persegi, jumlah penduduk mencapai 797.335 orang, dan agama Buddha Mahayana menjadi agama negara.
Sebagai negara yang digambarkan dengan tagline The Land of Happiness, bila negara-negara lain menggunakan penghitungan ekonomi Gross National Product (GNP) atau pendapatan total ekonomi suatu negara selama satu tahun, termasuk nilai produksi yang dihasilkan oleh penduduknya, Bhutan berbeda. Mereka malahan menyodorkan filosofi GNH atau Gross National Happiness alias pendapatan total kebahagiaan nasional. Unik bukan?
Tentang kehidupan keseharian di Bhutan, penghasilan atau gaji satu bulan yang ditetapkan pemerintah untuk pekerja awal setara staf adalah sekitar 270 dolar Amerika Serikat (AS) atau mendekati Rp 4 juta. Dari angka ini, 40 persen dibayarkan untuk sewa rumah, yang mencapai 140 dolar AS per bulan, atau mendekati Rp 2 juta. Sementara bila ingin membeli apartemen dengan tiga kamar tidur, harganya sekitar 1 juta dolar AS atau sekitar Rp 14.223.050.000.
Di tulisan selanjutnya yang bakal menjadi rangkaian penutup, akan ditemukan jawaban atas pertanyaan berapa kalikah warga Bhutan dibolehkan menikah? Temukan jawabannya di artikel mendatang.
Catatan: artikel ketiga dari empat bagian yang ditulis oleh Cherie (IG: never_stop_exploriiing, youtu.be/KS9tb5q3x2o) untuk kanal otomotif Suara.com