Suara.com - Kualitas udara bersih dibutuhkan bagi masyarakat agar mereka tetap sehat dan bisa terus beraktivitas. Tak terkecuali dengan hadirnya tol Trans Jawa yang kini telah aktif beroperasi. Dikutip dari kantor berita Antara, polusi dari kendaraan bertenaga fosil di sekitar kawasan Jalan Tol Trans Jawa belum tercatat, sehingga dampak kesehatan bagi masyarakat di sepanjang kawasannya belum terdapat laporan.
"Pemerintah harus memantau kualitas udara dan dampak kesehatan pencemaran udara, dan setelah diketahui hasilnya agar diambil langkah-langkah khusus," demikian papar Ahmad Syafrudin, Direktur Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) usai menjadi pembicara diskusi bertema "Kesiapan Kendaraan Listrik Mengaspal di Jakarta" di Jakarta, Minggu (23/6/2019).
Lebih lanjut Ahmad Syafrudin menyebutkan, pencatatan polusi di area Trans Jawa bisa memetakan kawasan-kawasan yang memerlukan intervensi, semisal dari aspek kesehatan.
Ia menyatakan bahwa di kawasan manapun, polusi mampu memicu gangguan kesehatan ringan sampai berat.
Baca Juga: Polisi Akan Razia Massa dari Luar Daerah Jelang Putusan MK
"Bisa dijamin penderita akan mengalami bengek, penyempitan saluran pernapasan, pneumonia, jantung koroner, kanker, dan lainnya," urai Ahmad Syafrudin.
Pihaknya sendiri telah melakukan pencatatan dampak polusi terhadap gangguan kesehatan masyarakat di Jakarta. Akan tetapi, pencatatan di kawasan Tol Trans Jawa belum dilakukan. Dan ia menyajikan data dampak polusi di Jakarta sebagai pembanding.
"Catatan kami di Jakarta, pada 2016 masyarakat yang kena ispa 2,7 juta, jantung koroner 1,4 juta atau gagal jantung dengan istilah awam "angin duduk". Selain itu, ada gangguan bronkitis dan anak-anak dengan IQ relatif rendah karena pencemaran udara. Kami cuma bisa catat di Jakarta, jalur Pantai Utara atau Pantura belum kami catat," ujarnya.
Atas pertimbangan dampak polusi itu, Ahmad Syafrudin menyarankan agar pemerintah menerapkan program-program untuk memperbaiki kualitas udara, memperbaiki prasarana berupa kendaraan dengan menggalakkan teknologi listrik.
Teknologi otomotif Indonesia, imbuhnya, saat ini minimal menggunakan sistem luaran emisi kategori Euro 2 yang memiliki rasio kompresi 9 banding 1. Tunggangan roda empat dengan spesifikasi ini banyak digunakan di Indonesia. Idealnya, Bahan Bakar Minyak (BBM) yang cocok digunakan memiliki kandungan RON 92, seperti Pertamax.
Baca Juga: Mitsubishi Dukung Pelatihan Kompetensi Otomotif di Bandung
Jika kendaraan jenis Euro 2 diisi dengan BBM berkadar RON 90 maka akan cepat rusak dan lebih boros bahan bakar. Saat BBM lebih boros maka emisi yang mencemari udara tentu lebih tinggi.
Selain itu, katanya, pemerintah agar meningkatkan kualitas bahan bakar.
"BBM berkualitas rendah, seperti Premium 88, Pertalite 90, Solar 48, Dexlite agar berangsur diganti ke kualitas yang lebih baik. Empat jenis bahan bakar itu kualitasnya buruk, menyebabkan pencemaran tinggi," imbaunya.
Selain itu, tandasnya, terdapat solusi lain untuk mengurangi penggunaaan BBM, yaitu menggunakan kendaraan bertenaga listrik.
"Kendaraan dengan tenaga listrik lebih irit energi. Kalau kita terapkan ada efisiensi dan tidak menyebabkan polusi seperti kendaraan dengan bahan bakar fosil. Kemudian masyarakat lebih sehat, tidak perlu membayar biaya kesehatan. Masyarakat yang sehat tentu lebih produktif," pungkas Ahmad Syafrudin.