Suara.com - Apakah yang dirasakan penumpang, terutama para pengguna reguler atau pelanggan tetap layanan ojek dalam jaringan atau populer disebut ojek online alias ojol saat kenaikan tarif diberlakukan?
Yang jelas tertera pada aplikasi tentu saja adanya perbedaan dibandingkan tarif sebelumnya. Alias mengalami kenaikan. Dan tidak bisa disebutkan jumlah itu tergolong kecil, karena didasarkan pada zona operasional layanan ojol. Dengan berpedoman pada Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) No. 348 Tahun 2019.
Namun pertanyaan yang menggelitik, apakah kenaikan tarif yang kini diberlakukan itu berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan pengemudi atau para babang atau bapak pekerja ojol alias pengemudinya sendiri?
Ternyata tidaklah demikian adanya.
Baca Juga: Mari Intip Tiga Motor Presiden RI di Telkomsel IIMS 2019
Seperti diungkapkan pada hasil survei berjudul "Persepsi Konsumen terhadap Kenaikan Tarif Ojek Online di Indonesia" yang diselenggarakan oleh Research Institute of Socio-Economic Development (RISED), kenaikan tarif ojol ini tidak menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan pengemudi.
Pasalnya, kenaikan tarif justru bisa menggerus permintaan akan layanan ojol hingga 75 persen, yang akhirnya bisa berdampak negatif terhadap pendapatan pengemudi.
Adapun penelitian RISED itu sendiri dilakukan untuk menjawab pertanyaan publik tentang respon konsumen terhadap kebijakan kenaikan tarif yang berpedoman pada Kepmenhub No. 348 tahun 2019 tadi, sekaligus memberikan gambaran terkait willingness to pay (kesediaan membayar) konsumen terhadap layanan ojol.
Survei digelar dengan responden terdiri dari tiga ribu konsumen pengguna ojol yang tersebar di sembilan wilayah di Indonesia, dan mewakili ketiga zona sebagaimana diatur di dalam Kepmenhub itu, yakni Jabodetabek, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Medan, Semarang, Palembang, Makassar, dan Malang. Pelaksanaan dilakukan 29 April - 3 Mei 2019, dengan nilai margin of error berada di kisaran 1,83 persen.
Hadir dalam peluncuran hasil survei adalah Ketua Tim Peneliti, Rumayya Batubara, Ph.D (Ekonom Universitas Airlangga), dan Dr. Fithra Faisal (Ekonom Universitas Indonesia) sebagai narasumber sekaligus penanggap hasil riset.
Baca Juga: Tampil di Telkomsel IIMS 2019, Mercedes-Benz Sprinter Bikin Ngiler
Ketua Tim Peneliti Rumayya Batubara, Ph.D menjelaskan, tarif baru yang diatur Pemerintah per 1 Mei 2019 ini tidak mencerminkan tarif yang akan dibayar oleh konsumen.
"Tarif atau biaya jasa yang tertera pada Kepmenhub No. 348 tahun 2019 merupakan tarif bersih yang akan diterima pengemudi. Artinya, tarif yang harus dibayar konsumen akan lebih mahal lagi, mengingat harus ditambah biaya sewa aplikasi," jelas Rumayya Batubara.
Ekonom Unair ini mencontohkan bahwa dengan asumsi tambahan biaya sewa aplikasi sebesar 20 persen, tarif batas bawah yang harus dibayar oleh konsumen di Jabodetabek adalah sebesar Rp 2.500 per km, bukan seperti yang tertera di Kepmenhub yang menyatakan Rp 2.000 per km.
Kemudian, dari hasil survei RISED didapatkan kenaikan tarif berpengaruh terhadap pengeluaran konsumen setiap harinya. Menurut RISED, jarak tempuh rata-rata konsumen adalah 7-10 km per hari di Zona I (Jawa non-Jabodetabek, Bali, dan Sumatera), 8-11 km per hari di Zona II (Jabodetabek), dan 6 - 9 km per hari di Zona III (wilayah sisanya).
Dengan skema tarif yang berpedoman pada Kepmenhub itu, dan jarak tempuh sejauh itu berarti pengeluaran konsumen akan bertambah sebesar Rp 4.000 - Rp 11.000 per hari di Zona I, Rp 6.000 – Rp 15.000 per hari di Zona II, dan Rp 5.000 - Rp 12.000 per hari di Zona III.
"Bertambahnya pengeluaran sebesar itu sudah memperhitungkan kenaikan tarif minimum untuk jarak tempuh empat km ke bawah. Jangan lupa tarif minimum juga mengalami peningkatan. Misalnya di Jabodetabek dari sebelumnya Rp 8.000 menjadi Rp 10.000 - Rp 12.500," jelas Rumayya Batubara.
Ia melanjutkan, bertambahnya pengeluaran sebesar itu akan ditolak oleh 47,6 persen kelompok konsumen yang hanya mau mengalokasikan pengeluaran tambahan untuk ojol maksimal Rp 4.000 - Rp 5.000 per hari.
Bahkan, sebenarnya ada pula 27,4 per kelompok konsumen yang tidak mau menambah pengeluaran sama sekali.
"Total persentase kedua kelompok tadi mencapai 75 persen secara nasional. Jika diklasifikasikan berdasarkan zona maka besarannya adalah 67 persen di Zona I, 82 persen di Zona II, dan 66 persen di Zona III,” tambah Rumayya Batubara.
Lebih detail disebutkannya bahwa rata-rata kesediaan konsumen di non-Jabodetabek untuk mengalokasikan pengeluaran tambahan adalah sebesar Rp 4.900 per hari. Jumlah itu lebih kecil enam persen dibandingkan rata-rata kesediaan konsumen di Jabodetabek yang mencapai Rp 5.200 per hari.
"Oleh karena itu, Pemerintah perlu berhati-hati dalam pembagian tarif berdasarkan zona. Daya beli konsumen di wilayah non-Jabodetabek yang lebih rendah tentu harus dimasukkan ke dalam perhitungan Pemerintah," tegas Rumayya Batubara.
Terbatasnya kesediaan membayar konsumen didorong oleh 75,2 persen konsumen yang berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah.
"Selain itu, faktor tarif ternyata menjadi pertimbangan utama bagi keputusan konsumen untuk menggunakan ojol.
Sebagai bukti, sebanyak 52,4 persen konsumen memilih faktor keterjangkauan tarif sebagai alasan utama. Jauh mengungguli alasan lainnya seperti fleksibilitas waktu dan metode pembayaran, layanan door-to-door, dan keamanan.
"Oleh karena itu, perubahan tarif bisa sangat sensitif terhadap keputusan konsumen," tutup Rumayya Batubara.