Motor Dirusak Gara-gara Emosi, Apa Kata Pakar ?

Jum'at, 08 Februari 2019 | 08:00 WIB
Motor Dirusak Gara-gara Emosi, Apa Kata Pakar ?
Lelaki hancurkan motor [Twitter: @AboutTng].
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kejadian pasangan bermotor di Jalan Letnan Soetopo, Serpong, Tangerang Selatan tanpa mengenakan helm, tidak dilengkapi surat-surat berkendaraan, dan saat diperiksa Polisi si lelaki menumpahkan emosi dengan cara merusak motor, menjadi viral pada Kamis (7/2/2019).

Apa kata dunia? Tepatnya sektor otomotif yang senantiasa memberikan apresiasi terhadap tunggangan, kendaraan konsep, bahkan melahirkan komunitas pencinta kendaraan, sampai cabang olah raga otomotif?

Ilustrasi marah, emosi, stres, depresi. (Shutterstock)
Ilustrasi marah, emosi, stres, depresi [Shutterstock].

Reaksi pertama adalah kasihan si motor. Ia adalah wahana transportasi yang siap mengantar pengguna ke manapun. Itulah fungsi utamanya. Kemudian, motor adalah media untuk dijadikan sasaran modifikasi, bukan luapan emosi.

Reaksi kedua, setelah menyimak kejadian viral merusak motor itu, mari telaah dari sudut pandang beberapa pakar.

Baca Juga: Jasad Pesepak Bola Emiliano Sala Ditemukan

David Narang, PhD, seorang psikologi di klinik Santa Monica, California, Amerika Serikat, seperti dikutip dari Health.com menyatakan bahwa melakukan aktivitas yang melibatkan benda-benda otomotif saat emosi hendaknya tidak dilakukan.

"Dalam kondisi emosi yang buruk, kemampuan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari, semisal mengemudi akan membahayakan diri sendiri maupun sekeliling," paparnya.

Berdasar beberapa riset yang dilakukan, David Narang yang pernyataannya juga dikutip Time dari Health.com menyatakan bahwa kemarahan membuat pengemudi berada dalam risiko tinggi untuk mengalami hal yang mencelakakan diri sendiri dan pihak lain.

"Saat marah, Anda berada dalam kondisi siap menyerang, sehingga bukan saat yang tepat untuk berada di dekat kendaraan, apalagi mengemudikannya," tandasnya.

Dan yang terpenting, "Dalam kondisi emosi, kemarahan membuat seseorang berada dalam kondisi gelap mata (tunnel vision, hanya seperti lorong gelap). Tidak mampu mengamati sekeliling, mulai sosok manusia, sampai kendaraan yang datang dari arah berlawanan."

Baca Juga: Mitsubishi Hadirkan Dealer ke-6 di Sumatera Utara

Sementara Nancy Wurtzel, dalam datingdementia.com menyebutkan bahwa menurut survei nasional Amerika Serikat 2015 yang dilakukan NBC, majalah Survey Monkey dan Esquire, setengah dari seluruh penduduk negeri itu menyatakan bahwa mereka lebih sering marah-marah dibandingkan setahun silam.

Beruntung, individu-individu tadi mampu memoderasi emosi mereka yang intens, memproses perasaan mereka, dan menempatkan kemarahan secara perspektif dan kemudian melepaskannya.

"Atau dengan kata lain, mereka tidak membiarkan kemarahan membara dan menghabiskan masa depan mereka," ulas Nancy Wurtzel.

Toh di sisi lain, ada sosok-sosok yang tidak mampu melepaskan amarah dan disandera oleh kemarahan yang tidak terselesaikan. Jika tidak dilepaskan, perasaan beracun ini bisa tertanam dan akhirnya memengaruhi hubungan pribadi  serta profesional, juga kesehatan mental maupun fisik.

"Kalau sudah begini, taruhannya adalah tubuh dan otak yang akan membayar luapan kemarahan," tutupnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI