Namun persoalan utama di Tanah Air adalah persoalan baterai dari kendaraan listrik tersebut. Hudaya melihat sudah banyak pebisnis yang terjun pada baterai, namun belum untuk skala besar.
Begitu semua beralih ke listrik, industri rumahan yang selama ini menyediakan suku cadang kendaraan konvensional akan tutup. Selama ini untuk satu baut saja, ada ribuan industri rumahan.
Tapi dengan kendaraan listrik, tidak lagi semuanya akan terdisrupsi dan digantikan dengan motor listrik.
Galon Listrik melihat potensi tersebut, Hudaya kemudian menerapkan baterai listrik tersebut ke dalam Gatrik singkatan dari Galon Listrik, yakni penyimpanan energi dengan media baterai lithium untuk skala menengah. Dengan Gatrik, masyarakat yang membutuhkan listrik hanya memasukkan ke colokan atau catu daya dan langsung menyala.
Baca Juga: Toyota - Suzuki Sepakat Luncurkan Mobil Listrik pada Tahun 2020
Aplikasi ini diharapkan bisa mengatasi persoalan listrik di daerah tertinggal, terluar dan terdepan (3T), karena untuk membangun transmisi di daerah 3T itu mahal sekali.
Jadi solusinya, kata dosen yang meraih gelar doktor di Institut Sains dan Teknologi Korea tersebut, bisa menggunakan Gatrik ini karena begitu listriknya habis bisa ditukar.
Sederhananya, kata dia, Gatrik tersebut seperti "powerbank" yang biasa digunakan masyarakat, namun memiliki sistem manajemen baterai.
Gatrik yang memiliki berat empat kilogram tersebut, memiliki kapasitas energi yang sama dengan aki truk yang memiliki berat 20 kilogram. Dengan Gatrik tersebut bisa menghidupkan dua lampu listrik hingga tujuh hari ke depan.
Penggunaannya tidak hanya terbatas untuk penerangan, tetapi juga untuk berbagai peralatan listrik. Uniknya ini seperti tabung LPG, begitu habis bisa langsung tukar.
Baca Juga: Riset Mobil Listrik di Indonesia, Dapat Insentif Pajak Besar
Untuk isi ulangnya bisa menggunakan tenaga surya. Cukup dijemur di bawah sinar matahari. Gatrik sendiri merupakan hasil penelitian Hudaya dengan Fadolly Ardin.